Bab 4

1.2K 91 0
                                    


"Produk kosmetik yang kita luncurkan akan sangat laku di pasaran. Karena selain harga, kualitas barang yang ditawarkan juga sangat sesuai selera para remaja."

"Benar, harga yang terjangkau dan berkualitas tinggi adalah incaran remaja zaman sekarang." Adwithya mengambil salah satu sampel perona pipi bertekstur padat yang dikemas dalam kotak segiempat mini dilengkapi sebuah cermin. "Hanya saja, kita juga harus mempertimbangkan bahwa selain harga dan kualitas barang, sasaran pengguna kita adalah remaja yang senang dengan kosmetik simpel dan mudah di bawa ke mana-mana."

Sekretaris Li mengangguk setuju. "Bentuk ini terlalu jadul, gampang pecah ketika jatuh, sehingga tidak leluasa dibawa ke mana-mana. Untuk menarik minat remaja kita perlu terobosan baru."

"Bagaimana jika bentuk padat kita ubah menjadi cair dan dikemas dalam bentuk saset-saset lucu beranimasi. Anak-anak muda akan menyukai ini." Wanita bercelana kain hitam panjang yang merupakan penanggung jawab dalam pemasaran produk angkat bicara.

Berpikir sejenak, Adwithya mencoba berimajinasi dengan apa yang disampaikan pegawainya. "Itu mungkin terobosan yang bagus. Kalau begitu lakukan seperti yang kau katakan. Pastikan dalam tiga bulan produk ini bisa launching di pasaran."

"Baik, Presdir."

"Kalau begitu, sampai di sini rapat kita. Kalian bisa kembali ke departemen masing-masing."

Semua yang ada di ruang rapat serempak berdiri dan memberi hormat pada Adwithya. "Terima kasih, Presdir."

Menghela napas panjang, Adwithya memejamkam mata dengan kepala bersandar di kursi. Rapat kedua berakhir juga. Dengan sorot mata lelah memandang Sekretaris Li. "Apa lagi jadwalku selanjutnya?"

Membukan tabletnya, Sekretaris Li tampak serius membaca rangkaian kegiatan yang sudah ia jadwalkan. "Karena rapat bersama tuan Himamura dari Jepang diundur minggu depan, ini adalah rapat terakhir. Selanjutnya tidak ada lagi yang harus diurus. Penandatangan kontrak sudah dibereskan kemarin."

"Baguslah. Ayo kita pulang."

"Baik, Nyonya."

***

Turun dari mobil, Adwithya melihat pelayannya berkumpul membentuk kerumunan. Ada yang berteriak meminta air, ada pula yang mengatakan maaf berulang kali. Begitu sibuk hingga mereka yang biasa menunggu dengan hormat mendadak tidak memedulikan kehadiran nyonya rumah.

"Apa yang terjadi?" Menatap Sekretaris Li yang juga memasang tampang bingung dan bertanya-tanya. "Apa mereka sedang bermain?"

"Mungkin saja."

"Ya, aku sudah lama tidak membawa liburan," kelakar Adwithya, sedikit menahan tawa. Namun ketika kerumunan itu memberi celah untuk ia melihat dengan jelas apa yang terjadi, emosinya tidak terkendali. "Apa ini?"

Widyanatha tergeletak dengan kedua lutut terluka. Sementara Bibi Wei membersihkannya dari kerikil kecil dan pasir yang bercampur darah dengan handuk kecil. Para pelayan bergetar ketakutan melihat kehadiran Adwithya. "Maafkan kami, Nyonya. Tuan jarang melintasi taman samping, jadi kami belum memindahkan pot-pot bunga dan membereskan batu-batu maupun lubang yang dulu digunakan sebagai hiasan."

Plak!

Satu tamparan menjadi hadiah atas kelalaian. Adwithya menatap mereka semua dengan marah. "Bukankah sudah kukatakan untuk menyingkirkan semua barang yang bisa membuatnya tersandung dan jatuh?! Tidak peduli itu taman belakang, samping, atau depan. Tidak ada pengecualian!"

"Maafkan kami, Nyonya." Gadis-gadis muda itu saling tatap satu sama lain, setelah salah satu dari mereka menerima tamparan.

"Bibi Wei, apakah begini caramu mendisiplinkan mereka?"

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang