Bab 19

940 59 0
                                    

Botol-botol minuman keras bergelimpangan di atas meja. Bau alkohol tercium di mana-mana. Tersangka dari ini semua adalah satu dari keempat tamu utama, sebab pelayan tidak akan punya cukup keberanian melakukan hal kurang ajar.

Dengan wajah sangar, Adwithya bertanya, "Siapa yang melakukan ini semua?"

"Tuan Widyanatha yang meminta kami menyajikan anggur terbaik Pulau Tera." Pelayan pria yang sudah berganti seragam putih polos itu menunduk dengan gigi bergemeletuk ketakutan. "Beberapa waktu lalu tuan meminta semua anggur ini di bawa ke kamar utama."

"Widyanatha?"

Melambaikan tangan, ia menyuruh pelayan dengan segera menghilang dari hadapan. Adwithya mengerutkan dahi hingga membentuk tiga lapisan. Prianya bukanlah orang yang senang dengan minuman keras apalagi mabuk-mabukkan. Jadi ini terasa sangat janggal.

Menaiki tangga perlahan-lahan, Adwithya mengumpulkan keberanian untuk mengetahui apa yang sedang suaminya lakukan. Ketika pintu kamar terbuka, benar saja pria itu sedang meneguk anggur seperti air putih. "Widyanatha?"

"Adwi." Meraba-raba sekitar, Widynatha mencoba mencari ke arah datangnya suara. "Kau di mana?"

"Ada apa denganmu."

Tertawa pelan, Widyanatha yang berhasil menemukan Adwithya langsung memeluknya erat. "Ada apa denganku? Aku juga tidak tahu. Kau mengacaukanku, Adwi. Apa maumu sebenarnya?"

"Kau mabuk." Menuntun Widyanatha ke sisi kanan ranjang, Adwithya mengembuskan napas kesal. Meski anggur Pulau Tera tidak memiliki kadar alhokol setinggi wiski dan vodka, tetap saja itu minuman keras yang apabila dikonsumsi dalam jumlah besar akan membuat mabuk peminumnya.

"Katakan, sisi baik mana yang ada pada cinta gilamu? Kenapa kau terus saja membuat aku merasa dihantui karena itu?" Bergerak liar, bibir Widyanatha menyentuh leher jenjang sang istri. Ketika satu isapan tak cukup memberi kepuasan, ia mulai bergerak ke atas dan melumat lengkung tipis merah muda Adwithya seperti buah plum masak yang membuatnya ketagihan untuk terus mengemutnya.

Melepaskan ciuman, Adwithya menatap sang suami keheranan. Namun, sebelum ia sempat bicara, pria itu menarik bajunya hingga koyak. "Aku ingin memakanmu," bisiknya, mesra.

Bukan ekspresi bahagia, wanita itu justru menguncang tubuh suaminya beberapa kali sebelum bertanya, "Kau tahu siapa aku?"

"Ya."

"Widyanatha, sadarlah! Aku bukan Jisa."

"Kau Adwithya Criselda Ararinda. Wanita gila yang menikahiku dengan paksa." Tepat setelah dua kalimat itu diucapkan, Widyanatha melancar serangan ciuman yang ganas di bagian tubuh yang bisa ia jelajah.

"Kau bilang mencintaiku. Lalu kau hancurkan dan rampas kebahagiaanku. Namun, setelah itu semua, kau dengan mudahnya berpaling pada sekretarismu," ujar Widyanatha, penuh kemarahan.

Tidak peduli pada erangan Adwithya, ia terus saja melampiaskan kegilaan. "Aku tidak akan membiarkanmu bahagia semudah itu. Kau merebut tubuhku dan aku akan merebut kesucianmu. Sekretarismu itu tidak akan pernah mau menyentuh wanita kotor sepertimu."

Entah harus sedih, bahagia, atau terluka. Adwithya menjalani malam pertama dalam tangis air mata dan tawa hampa. "Widyanatha, apa ini semua hanya untuk membalas dendam?"

***

Melirik ke sebelah, Adwithya meneguk saliva menyaksikan sang suami tertidur lelap dengan bertelanjang dada. Beringsut pelan, ia kemudian menyandarkan dagu di tubuh prianya. Dengan nakal memainkan bulu mata Widyanatha yang panjang dan indah.

"Terima kasih untuk malam ini," bisiknya di telinga Widyanatha. "Kau sudah menyempurnakan pernikahan kita dengan malam pertama. Bahkan jika itu dilakukan karena terpaksa dan balas dendam saja, aku tetap bahagia."

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang