Menikmati makan malam sendirian, Widyanatha merenung. Tidak ada kegaduhan. Tidak ada adu argumen. Tidak ada Adwithya. Semua berjalan tenang, seperti yang ia harapkan.
Namun perubahan itu terlalu cepat dan dia belum terbiasa. Semua orang seperti menghindarinya. Bibi Wei menjawab sepatah dua patah kata, sisanya bungkam. Pelayan juga datang menyiapkan segala keperluan, tetapi tanpa sapaan ramah atau basa-basi yang kerap kali membuat ia jengah.
"Bibi Wei."
"Ya, Tuan?"
"Apa aku melakukan kesalahan?"
Bibi Wei tersenyum samar. Namun mata tua itu meninggalkan sejejak kekecewaan. "Kapan Tuan pernah berbuat kesalahan?"
Pertanyaan itu seperti dengan jelas berkata: ya, kaulah yang bersalah, Tuan!
Widyanatha mengempas sendoknya di atas piring hingga membuat suara berdenting yang tajam. "Kalian orang-orang yang sangat aneh. Kalian membela seseorang yang jelas berbuat salah. Dan, kalian memperlakukan korban selayaknya tersangka."
"Apa maksud, Tuan?"
"Nyonyamu itu yang menculik kekasihku. Nyonyamu juga yang menghancurkan hidupku. Di sini, aku adalah korbannya. Hidupku seperti mainan yang tidak berarti apa-apa. Dia membuatku seperti sampah. Namun kalian selalu membelanya. Kalian bersikap seperti akulah yang menyiksa dan orang yang paling bersalah pada Adwithya."
Pelayan di sekitar Bibi Wei memandang marah ke arah Widyanatha. Mereka menahan diri atas nama Adwithya. Jika tidak, mungkin sejak pertama pria itu masuk ke rumah mereka sudah mencaci dan menghinanya.
"Katakan, hal baik apa yang Adwithya pernah lakukan? Beri aku alasan untuk merasa bersalah karena menyakitinya."
"Tuan, saya permisi. Ada yang harus saya kerjakan." Menjauhi Widyanatha, keringat dingin menyucur di wajah Bibi Wei. Topik kebaikan Adwithya adalah hal terlarang yang tidak boleh dibahas oleh mereka.
"Jangan menghindar."
"Saya permisi, Tuan."
"Bibi Wei!" gertak Widyanatha, membuat wanita paruh baya itu tersentak. "Sebutkan kebaikan yang telah ia lakukan!"
"Tuan, maaf saya tidak bisa."
"Tidak bisa atau tidak ada?" Duduk menyilangkan kaki dengan kedua tangan di atas paha, pria dengan tinggi 180 sentimeter itu tersenyum mencemooh. "Seorang iblis tidak akan pernah bisa melakukan kebaikan."
"Tuan!" Bibi Wei balas menggertak. Dengan napas naik turun ia berkata, "Saya merawat nyonya sejak dia masih balita hingga dewasa. Saya bersamanya lebih lama dari tuan Widyanatha. Di dunia ini, saya adalah orang yang paling mengerti wanita seperti apa nyonya. Dia bukan iblis, Tuan. Nyonya adalah malaikat untuk saya dan pelayan di sini."
"Berhenti membelanya."
"Apa Tuan tahu siapa yang menyelamatkan Tuan saat kecelakaan? Apa Tuan tahu siapa yang terbaring koma karena cedera kepala berat dan hampir tiada karena nekat berlari ke mobil yang akan meledak? Apa Tuan tahu siapa itu?"
Widyanatha terdiam.
"Jisa?" Bibi Wei membuang muka dengan wajah ingin muntah ketika menyebut namanya. "Wanita itulah yang melarikan diri tanpa peduli prianya dalam keadaan sekarat di mobil yang akan meledak. Ya, dialah Jisa yang Tuan anggap sebagai dewi kebaikan. Sementara dia yang benar-benar mengorbankan nyawanya hanya dianggap sebagai iblis."
Seorang gadis dengan rambut diikat ekor kuda memegang tangan Bibi Wei, menguatkan. "Bibi Wei, tenanglah. Tuan tidak akan mengerti, apapun yang kita ucapkan hanyalah omong kosong untuknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...