Bab 41

1.1K 63 1
                                    

Menatap bergantian pelaminan berhiaskan bermacam bunga dan dedaunan, awan—dari gumpalan kapas—yang menjuntai di langit-langit ruangan, serta tamu-tamu undangan, Widyanatha tenggelam dalam keheningan. “Inikah rasanya ditinggalkan di hari pernikahan?” Bergumam pada diri sendiri, pria bertuksedo putih itu tertawa lirih.

Masih segar diingatan, bayang kebahagiaan yang akan mereka ecap setelah pernikahan. Namun, semua hancur dalam semalam. Jisa tidak ditemukan di mana-mana tepat setelah perias datang. Hanya  ada selembar surat perpisahan yang menyatakan keengganan melanjutkan hubungan tergeletak di atas gaun pengantin tanpa lengan.

Natha, aku memang mencintaimu. Aku ingin kita terus bersama, hingga tua. Namun, aku tidak bisa bersikap senaif Adwithya—menikahi pria yang jelas tidak mencintainya.

Widyanatha tersenyum getir membaca tiap kata dari goresan pena yang tertinggal di kertas putih. “Aku mencintaimu, Jisa. Bagaimana bisa kau menyimpulkan pemikiran liar itu?”

Kau tidak mencintaiku, Natha. Tanyakan pada hatimu, jelas sekali di sana aku sudah tidak lagi bertakhta. Kau mungkin lupa, setiap kali kita bersama, nama dia terucap di bibirmu dengan fasihnya. Ya, bahkan seminggu menuju pernikahan kita, kau mabuk dan mengatakan menikahiku hanya agar dia berhenti bersembunyi darimu. Kau mengatakan itu dalam keadaan tidak sadar. Namun, aku tahu, itulah suara hatimu yang sesungguhnya.

“Suara hatiku?” Menahan diri untuk tidak meneteskan air mata, Widyanatha mengangguk-anggukkan kepala dan lantas meninju pilar di sebelah kanannya. Seketika cairan kental berwarna merah segar mengalir lembut membasahi lantai.

Aku bertahan—bahkan setelah dibuang ke Singapura dan disekap Bram—karena tahu kau mencintaiku. Itulah alasan terbesar aku tidak berpaling dan tetap menunggumu. Namun, ketika cinta itu menguap—tidak berjejak—dengan alasan apa aku tetap memilih tinggal?

Maaf, Natha. Aku tidak bisa menikahimu. Aku tidak bisa menggadaikan kebahagianku, sekalipun aku mencintaimu. Sekali lagi kukatakan, aku bukan Adwithya. Menjadi gila dan merelakan hidupku untuk pembuat luka, aku tidak bisa melakukannya.

Tidak ada wanita yang ingin terluka. Tawa dan bahagia menjadi cita-cita yang tak terucap lisan, tetapi ada dan hidup dalam pikiran. Widyanatha memahami itu dengan sangat baik. Namun, pilihan Jisa telah memberikan satu tamparan di hati dan jiwanya. “Inikah yang disebut cinta?”

Kecewa merasuk dalam tulang, meninggalkan gigil kehilangan yang tak mau bersepakat dengan perasaan. Wanita yang ia perjuangan, justru mundur hanya untuk hal sepele—padahal bisa diluruskan jika mereka mau saling terbuka. Tiba-tiba nama Adwithya seakan bergema di telinga. Mengingatkan kembali pada selaksa luka yang sang mantan istri terima, tetapi dengan ikhlasnya tetap bertahan dan mencintai dia.

“Mungkinkah aku yang salah menafsirkan cinta?”

Ratusan mata tertuju pada Widyanatha. Iba. Meski begitu tidak ada yang bisa dilakukan, selain dari merumpi ria. “Dia meninggalkan istri lamanya setelah sumpah pernikahan mereka. Sekarang, dia yang ditinggalkan oleh calon istrinya, bahkan sebelum mereka terikat akad.”

“Kudengar, istri lamanya jahat. Namun, entahlah, beberapa mengatakan Widyanathalah yang kejam.” Gadis bersurai ikal—yang merupakan teman sekantor mempelai pria—membalas ucapan temannya sambil bersedekap dada. “Istri lamanya sangat kaya. Gosip ini sudah menyebar di divisi pemasaran. Katanya, dia diterima bekerja dan mendapatkan posisi yang baik juga karena campur tangan keluarga Ararinda.”

“Keluarga mantan istrinya?” Seakan terkejut dengan pernyataan sang teman, pria dengan kemeja putih itu menggeleng-gelengkan kepala. “Jika istri lamanya benar-benar kejam, untuk apa dia masih membantu Widyanatha?”

Riuh rendah percakapan menyapa telinga. Akhirnya, Widyanatha merasakan perih yang dulu ia gores di hati Adwithya. Mungkin ini tidak seberapa, karena bagaimanapun juga, apa yang dia lakukan lebih tidak berperasaan—meninggalkan gadis itu di hari pernikahan dan menghancurkan pesta ulang tahun dengan penuh penghinaan.

“Hidup adalah fase di mana mereka yang pernah melukai akan dilukai. Mereka yang menyakiti akan disakiti. Mereka yang meninggalkan akan ditinggalkan. Itu adalah konsekuensi.” Kina membawa perban dan obat merah, lantas mulai mengobati tangan sang kakak. Meski ia membenci pria yang sudah membuat Adwithya terluka, tetapi mereka tetap saja saudara sedarah. Ia tidak bisa bertindak abai akan fakta yang terbentang di depan mata.

“Ini semua terjadi karena Adwi. Dia pasti mengutukku.” Widyanatha menghentikan Kina, membiarkan darah menyucur di antara sela jarinya. “Kina, ini pasti karena dia, bukan? Dia tidak rela aku bahagia dan mengutukku mengalami hal yang sama seperti yang dia rasakan.”

Kina mengembuskan napas, panjang. “Karena Kak Adwi atau karena Kakak sendiri?” Berhenti mengoleskan obat merah, gadis dengan gaun berenda warna biru muda itu menggigit bawah bibirnya sebelum bicara. “Apa Kakak lupa, Kakaklah yang mengutuki Kak Adwi?”

“Ya, bukan dia yang mengutukku. Akulah yang mengutuknya.” Widyanatha menggumamkan kalimat yang sama berulang kali. Lantas setelahnya memutar tumit dan pergi. Melewati orang-orang yang menatapnya dengan iba, ia tergelak gila. “Akulah yang mengutuk Adwi dan sekarang, akulah yang menderita.”

Siya dan Frendy sebagai kedua orang tua Widyanatha, hanya mampu bergeming dalam kedukaan. Bergandengan tangan, mereka mencoba saling menguatkan. Meski hasilnya tetap saja sama. Luka bernanah di dada.

Sekretaris Li menyaksikan semua yang terjadi dalam diam, tidak berani memasang ekspresi sedih ataupun senang. Atas nama Kina, ia mengoordinasi para tamu meninggalkan gedung pernikahan. Setelah memberi pengarahan kepada para pegawai, pria berkulit kuning langsat itu mengambil gawai dari saku kemeja dan mulai mengetik pesan.

[Tuan Bram, pernikahan mereka gagal. Nona Jisa meninggalkan Tuan Widyanatha.]

***

“Terima kasih sudah memilihku.” Seorang pria dengan jas informal dan kacamata hitam memeluk Jisa, erat.

Menundukkan kepala, Jisa meluahkan air mata. Di hatinya masih terdapat selaksa kama untuk Widyanatha, tetapi akal sehatnya menolak tinggal dan mengarungi bahtera bersama seseorang yang tidak lagi mencintainya. “Aku memilihmu, karena dia tidak mencintaiku.”

“Aku mencintaimu. Aku janji tidak akan membuatmu terluka. Kau adalah segalanya untukku.”

“Peris, terima kasih.” Menenggelamkan diri dalam keharuman tubuh si pria, Jisa mencoba tidak terlalu memikirkan Widyanatha. Ini adalah keputusan final. Ia sudah memilih pengusaha rafinering asal Singapura—yang ditemui sewaktu bekerja di hotel milik Adwithya—sebagai nakhoda hidupnya.

Baik cinta maupun harta, Peris lebih baik dari Widyanatha. Dialah yang membantuku di Singapura. Dia juga menunggu dengan sabar, ketika Widyanatha muncul dan kami kembali berhubungan. Meski tidak mencintainya, dia mencintaiku—alasan yang cukup untuk membuatku memilihnya.

Kebahagiaan itu dikejar, bukan dipertaruhkan. Berjudi dengan takdir tidak selamanya mendatangkan keuntungan. Ada kalanya, manusia perlu realistis—terlepas dari stigma mata duitan atau tidak setia—dalam membuat keputusan. Jisa hanya ingin menikmati hari-hari dalam euforia cinta, bukan dalam tangis air mata. Ketika ada yang menawarkan dengan tangan terbuka, bisakah seonggok daging bernyawa menyia-nyiakan asa yang mungkin tidak akan datang dua kali dalam periode hidupnya?

***

“Adwi?” Dokter Piari yang baru tiba di vila dibuat khawatir, ketika menemukan Adwithya menangis sesenggukan di dalam kamar, sendirian. “Apa yang terjadi?”

“Pernikahan mereka gagal.” Menutup mata, Adwithya kemudian menangkupkan kedua tangan ke wajah. “Widyanatha pasti terluka. Dokter Piari, aku sudah menyerahkan Widyanatha pada Jisa. Namun, kenapa dia melukainya? Kenapa dia melukai Widyanathaku?”

Dokter Piari tersenyum getir. “Bukankah kau harusnya bahagia karena dia gagal menikah?”

Ya, dia harusnya bahagia dan tertawa atas bencana yang menimpa Widyanatha. Pria itu sudah banyak menyumbang duka di hidupnya. Namun, bisakah Adwithya melakukan itu semua? Tangisnya menjawab semua pertanyaan dengan gamblang.

“Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku. Lukanya adalah lukaku. Menurutmu, bisakah aku bahagia melihat dia terluka?”

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang