Sibuk, kamar Kina dipenuhi kurang lebih 10 pelayan yang bergerak cekatan. Ada yang mengganti seprei, selimut, bantal, memasang kelambu, menata beberapa novel di rak buku, menyemprotkan pengharum ruangan, dan juga memastikan semua fasilitas elektronik dalam kondisi prima. Setelah semua selesai, pelayan bagian dapur membawa beberapa camilan dan segelas teh hangat yang siap disantap."Silakan, Nona." Bibi Wei membukakan pintu kamar Kina. Gadis itu dibuat takjub akan keramahan pelayan Adwithya. Mereka melayaninya seperti seorang putri raja—sesuatu yang di luar ekspetasi, karena ia kira akan diperlakukan dengan sangat tidak layak oleh kakak iparnya.
Memasuki kamar dengan warna biru dan putih yang mendominasi, Kina merasakan sebuah sensasi ketenangan. Terlebih ketika aroma apel secara terang-terangan menyusup di hidungnya. "Terima kasih, Bibi Wei."
"Sudah kewajiban saya, Nona." Tersenyum lebar dan menuntun gadis itu ke dekat ranjang. "Silakan beristirahat Nona. Jika perlu sesuatu, panggil saja saya."
Setelah Bibi Wei pergi, Kina berbaring malas dan mulai memejamkan mata. Perjalanan panjang dari Visby—kota yang terletak di Pulau Gotland dengan penduduk sekitar 22.000 jiwa—menuju Stockholm, ibu kota Swedia sekaligus kota terbesar di negara Nordik memakan waktu sekitar 4 jam 40 menit. Dua ratus sepuluh kilometer bukanlah jarak yang dekat, wajar untuknya merasa lelah. Belum lagi ia tidak punya cukup waktu istirahat karena harus langsung menemui pimpinan butik untuk menandatangani kesepakatan.
"Permisi, Nona." Suara bas seorang pria memecah kesunyian.
Pulih dari rasa kantuk Kina dengan cepat membukakan pintu. "Maaf, aku ketiduran."
"Saya yang minta maaf karena menganggu, Nona." Sekretaris Li membungkuk. Jujur saja, perlakuan hormat seperri ini sangat jarang Kina terima. Jadi wajar untuknya merasa canggung. "Saya mengantar pakaian untuk Nona dari Nyonya Adwi."
Melihat tiga paper bag yang dipegang Sekretaris Li membuat Kina mengerti. "Ah, ya, terima kasih, Kak."
"Panggil saja Sekretaris Li."
"Itu terasa ... kaku. Bagaimana Kak Li? Apa boleh?"
"Tentu saja."
Tersenyum, Kina mengambil paper bag dari tangan pria berwajah datar dengan tubuh kekar itu. Berharap setelahnya Sekretaris Li akan pergi. Namun ternyata pria itu masih di sana, memandangnya tanpa mengatakan apa-apa.
"Apa ada sesuatu yang salah?" Memberanikan diri bertanya, Kina melihat kembali paper bag-nya. Mungkinkah semua paper bag ini tidak untuknya? Ya, dia memang terlalu polos karena mengambil itu semua tanpa bertanya yang mana miliknya.
Sekretaris Li menggeleng pelan. "Tidak, Nona."
"Lalu kenapa kau menatapku seperti itu?"
Menunduk, Sekretaris Li sadar telah berlaku kurang sopan dengan menatap langsung mata Kina. "Saya hanya ingin bertanya, barang-barang yang lain mau diletakkan di mana?"
"Barang-barang lain?" Maju beberapa langkah keluar kamar, Kina tercekat melihat begitu banyak orang yang berdiri di samping Sekretaris Li. Dilihat dari seragam dan tanda pengenal yang digunakan, itu bukanlah pelayan Adwitnya melainkan pegawai toko yang mengantar pesanan. "Apa yang mereka bawa?"
"20 pasang heels rak datar, 10 pasang flat shoes, 20 mini dress, 20 blus, 20 rok berbagai model, dan juga beberapa set perhiasan. Di mana kami harus meletakkan ini semua?"
"Hah?" Tercengang, Kina meneguk saliva berulang kali. Apa dia tidak salah dengar? Kenapa banyak sekali? Apa Adwithya berencana membuat sebuah toko?
"Nyonya bilang, jika ada yang Nona tidak suka, laporkan saja ke saya untuk dikembalikan ke toko."
Mengangguk, Kina cengengesan layaknya orang bodoh. "Ya, ya, letakkan saja semua itu di atas ranjang. Nanti aku akan mengeceknya satu persatu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...