Bab 23

829 49 0
                                    

Hilir mudik di sepanjang koridor rumah sakit, baik tenaga medis maupun kerabat dan kolega yang datang mengantar atau sekadar menjenguk pasien, tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Beragam ekspresi tercetak di wajah mereka. Ada yang melenggang dengan santai, ada yang berteriak histeris karena kehilangan, ada yang tersenyum karena kabar bahagia, ada yang meratap penuh penyesalan, dan ada yang berpura-pura tegar dengan luka menggenang di pelupuk mata.

Berdiri di depan ruang Dokter Peter, Adwithya tidak bisa untuk tidak cemas menanti hasil pemeriksaan. Menggigit-gigit ujung kuku, ia terus menatap pintu—berharap itu segera terbuka. “Kenapa lama sekali?”

“Jangan cemas, Nyonya. Semua akan baik-baik saja.”

“Benarkah?”

Sekretaris Li mengangguk dengan penuh kesungguhan.

“Aku juga berharap begitu.” Menyatukan kedua tangan, Adwithya tersenyum lebar.

Mengambil segelas latte yang baru ia beli di kafe depan rumah sakit, Sekretaris Li berkata, “Nyonya, silahkan.”

“Aku belum haus.”

Tidak berani memaksa, Sekretaris Li menyimpan gelas latte ke tempat semula. Duduk di samping wanita bersyal merah itu, netra segelap jelaga miliknya memancarkan ribuan cinta yang tidak bisa diutarakan lidah.

Sampai kapan hubungan ini hanya sebatas nyonya dan hamba? Bahkan saat aku merendahkan diri dengan menerima menjadi orang ketiga, sangat sulit untuk nyonya mengatakan iya.

Pintu berdecit pelan. Dibantu beberapa perawat, Widyanatha keluar bersama Dokter Peter. Kedua pria itu menampilkan ekspresi ambigu. Mereka bahkan tidak bicara sepatah kata pun untuk meredakan rasa penasaran.

“Kenapa lama sekali keluar?” Tidak sabar mendengar hasil pemeriksaan, Adwithya langsung memburu sang suami dengan serentetan pertanyaan. “Bagaimana hasilnya? Apa kornea mata itu cocok denganmu? Jika iya, kapan operasi akan dilakukan? Jika tidak, kapan kita bisa menemukan pendonor mata lagi?”

Hening. Semua mata tertuju pada Adwithya.

“Katakanlah sesuatu. Apa kalian tuli dan bisu?”

Pria paruh baya dengan sorot mata seteduh senja itu terkekeh pelan mendengar pertanyaan Adwithya. “Hasilnya bagus. Kornea matanya cocok dengan tuan Widyanatha.”

“Benarkah?” Adwithya hampir saja berteriak jika tidak ingat tempat yang ia pijaki adalah rumah sakit. Mendekati pria tambun dengan jas putih dan stetoskop tergantung di lehernya, ia bertanya, “Kapan operasinya bisa dilakukan?”

“Dua hari lagi.”

Euforia dalam hati Adwithya meluap-luap dan tidak terkendali. Memeluk Widyanatha, wanita dengan gaun motif floral itu bahkan tidak ragu melempar satu ciuman—meski hanya bisa menyentuh dagu.

“Widyanatha, kau akan bisa melihat lagi.” Air mata jatuh membasahi wajah giok Adwithya. “Kau akan bisa melihat lagi,” ulangnya dengan senyum semanis gula.

Lagi, Sekretaris Li hanya bisa menjadi pengamat dalam diam. Melihat besarnya cinta Adwithya pada Widyanatha membuatnya sedikit cemburu.

Seandainya orang yang dicintai nyonya adalah aku, tentu saja aku akan menjadi pria paling bahagia di dunia.

“Berhentilah menangis. Aku akan bisa melihat lagi, bukan akan mati sampai harus kau tangisi.” Meraba-raba wajah istrinya, Widyanatha dengan lembut menyeka air mata. Mendengar wanita itu menangis tersedu-sedu membuatnya ikut terluka.

“Kalian pasti sangat mencintai satu sama lain.” Dokter Peter mengulum senyum melihat kemesraan keduanya. “Ah, ya, sudah lama aku tidak melihat pasangan muda penuh cinta seperti kalian.”

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang