Adwithya menghilang tanpa jejak. Hanya berkas-berkas pemindahan kuasa atas rumah dan perusahaan yang menjadi ucapan selamat tinggal di antara mereka. Namun, Widyanatha tidak pernah mau menerima itu semua.
Menyewa rumah kecil di pinggiran ibu kota, ia bertekad membangun kembali hubungan bersama Jisa—melupakan tragedi yang pernah terjadi dan memulai cerita dari awal lagi. Tidak ada kenangan tentang Adwithya. Foto, baju, dan bahkan surat pernikahan mereka sudah berubah menjadi abu habis dibakar Widyanatha.
“Sayang, sarapannya sudah siap.” Duduk di meja makan, Jisa mengambil beberapa lauk ke piring kaca dan meletakkan itu di kiri meja—tempat Widyanatha.
Mengabaikan rencana pernikahan yang Adwithya siapkan untuk mereka. Baik Jisa atau Widyanatha sepakat menikah dengan menggunakan uang hasil kerja keduanya. Meski begitu, mereka tetap tinggal serumah dan berlaku selayaknya pasangan suami istri. Tidur bersama dan menghabiskan waktu penuh cinta setiap malamnya.
“Aku akan dipindahkan ke divisi pemasaran dengan gaji yang lebih tinggi. Doakan aku berhasil dan kita bisa menikah secepatnya.” Keluar dari kamar, pria dengan kemeja putih dan celana kain hitam itu melempar senyum pada Jisa.
“Tentu saja aku akan mendoakanmu.” Menghampiri Widyanatha dan menyuruh pria itu duduk di sampingnya. Menyodorkan piring yang sudah dipenuhi nasi dan lauk, dia berkata, “Makanlah.”
Memandang makanan di depannya, netra pria itu berkaca-kaca. Senyum getir terlukis di wajah pualam Widyanatha. “Terima kasih.” Setelahnya dia menyuap sesendok penuh nasi dengan sayur dan telur dadar.
Dulu, Adwi sering menyuruh Bibi Wei membuatkan telur dadar untukku. Bahkan ketika di Singapura, dia menyuruh koki memasakkannya untukku.
Sekeras apa pun ia menghapus nama Adwithya, sekeras itu juga kenangan hadir dengan kejamnya. Tiga bulan telah berlalu, semua harusnya berjalan baik-baik saja. Namun, kadang hati berulah. Perasaan hampa menyusup di sela-sela dada. Membuat ia sedikit merindukan masa-masa penuh luka bersama wanita beriris cokelat yang sudah menikahinya dengan paksa.
“Awal bulan ini uang hasil aku menjahit akan keluar. Bagaimana jika itu dipakai untuk menambah tabungan pernikahan kita?” Jisa mengambil teko air putih dan mengisi gelas Widyanatha hingga penuh. “Kita buat pesta pernikahan yang sederhana saja. Bagaimana menurutmu, Sayang?”
“Terserahmu saja.”
Menatap sang kekasih, Widyanatha tersenyum kecil. Jisa sudah banyak menderita untukku. Diculik berkali-kali, dibuang keluar keluar negeri, dan bahkan dia nekat menyakiti diri sendiri karena tidak tahan disekap oleh Bram. Aku sudah banyak berutang budi padanya. Aku tidak boleh mengecewakannya, apalagi membuat dia terluka.
“Maaf sudah membuatmu merasakan begitu banyak hal tidak menyenangkan.” Menyentuh wajah gadis beriris abu-abu itu, ia kemudian melayangkan satu ciuman di puncak kepala. “Aku akan menikahimu secepatnya.”
Widyanatha memang sempat marah pada Jisa, karena sengaja menjatuhkan diri dari tangga. Namun, ketika sang kekasih menangis dan menjelaskan ia melakukan itu semua atas dasar terpaksa—tidak bisa menahan diri lebih lama dipermainkan Bram dan Adwithya. Pria itu tidak mengatakan apa-apa dan justru balik merasa bersalah.
Kau tetap mau bersamaku, bahkan setelah semua duka ini. Itu artinya kau sangat mencintaiku, Jisa. Tidak ada alasan untuk aku meninggalkanmu, apalagi sampai berpindah hati.
***
Berjalan di trotoar sambil meneguk segelas cappucino, Widyanatha mengembuskan napas lelah. Bekerja di divisi pemasaran tidak semudah yang dibayangkan. Belum lagi harus mengejar target penjualan jika ingin mendapat bonus tambahan. Semua itu membuatnya sangat tertekan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...