"Terima kasih atas apresiasinya, Nyonya. Kami akan segera mengirim karyawan terbaik hotel ini untuk menemui tuan Bramantio." Wanita dengan setelan jas lengkap itu bangkit dari kursi dan menundukkan kepala. Berhadapan secara langsung dengan adik dari pemilik hotel tempatnya bekerja, membuat ia sedikit gugup.
"Jika ada yang Nyonya perlukan, jangan sungkan untuk menghubungi saya ataupun karyawan hotel ini. Kami akan berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk Nyonya."
Tersenyum samar, Adwithya menyesap kopinya. "Aku dengar kalian baru merekrut beberapa karyawan baru."
"Benar, Nyonya. Sebulan lalu kami merekrut 10 orang karyawan. Mereka adalah orang-orang berkualifikasi yang telah melalui serangkaian seleksi." Kembali duduk di sofa, wanita bertubuh jangkung yang merupakan direktur hotel itu menjawab pertanyaan Adwithya dengan antusias. "Apa Nyonya ingin bertemu mereka?"
Meski matanya memancarkan sejejak kegelisahan, sikap tenangnya membuat orang tidak bisa menemukan itu dengan mudah. Meremas ujung blus, Adwithya meneguk saliva berulang kali sebelum bicara. "Seorang wanita asal Swedia, bermata abu-abu, kulit kuning langsat, dan memiliki bekas luka di dahinya. Apa kau mengenal dia?"
"Apakah yang Nyonya maksud ...."
"Jisa Olimfa," sela Adwithya, sebelum wanita di depannya menyelesaikan perkataan. "Di bagian mana dia bekerja?"
"Dia bekerja sebagai pelayan restoran di lantai 11, tempat di mana tuan dan Nyonya menginap."
Adwithya mengangguk-angguk.
Pada akhirnya Widyanatha akan kembali bertemu Jisa. Sementara aku, ya aku berdiri dalam ketidakjelasan; mendapat belas kasihan atau ditinggalkan.
"Apa Nyonya mengenal Jisa?" Rasa penasaran menghantui dada, terlebih ketika Adwithya menyebut nama salah satu karyawannya dengan nada sedikit tidak suka.
"Direktur, terima kasih untuk hari ini. Aku masih ada urusan lain dan harus segera pergi." Tanpa melihat lawan bicara, Adwithya melenggang keluar dari kafe yang terletak di lantai paling bawah hotel menuju lift di sebelah kiri.
Sekretaris Li mengikuti dari belakang dengan sedikit perasaan cemas. Berdiri di depan pintu, ia melirik ke samping dan berkata, "Nyonya?"
"Aku menyewa mata-mata untuk mengawasi Jisa. Aku tahu dia ada di sini, sangat dengan kita. Namun kau tahu, Sekretaris Li? Aku seperti orang bodoh yang bukannya berusaha menjauhkan wanita itu dari Widyanatha, aku justru memberikan mereka kesempatan untuk saling berjumpa."
Ketika setetes air mata berlabuh di wajah giok Adwithya, seperti ada belati yang menikam jantungnya.
Aku adalah orang yang sangat berharap tuan Widyanatha dapat segera bertemu Jisa dan meninggalkan nyonya. Namun aku tidak tahan melihat nyonya bersedih seperti ini. Bahkan jika harus melawan harapanku sendiri, aku tidak masalah, asal nyonya bahagia.
Mengambil sapu tangan di saku celana, pria dengan setelan jas abu-abu kotak-kotak itu memberikannya pada Adwithya. "Jika Nyonya mau, saya akan mengurus masalah Jisa."
Tersenyum getir, Adwithya menghapus air matanya dengan sapu tangan Sekretaris Li. "Apa yang akan kau lakukan? Menculiknya lalu mengirim ke luar negeri seperti yang waktu itu kita lakukan? Atau membuatnya lenyap dari dunia ini untuk selama-lamanya?"
"Apa pun itu, selama Nyonya yang memerintahkannya, saya pasti akan melakukannya."
Pintu lift terbuka, karena dikhususkan untuk tamu istimewa, tidak ada yang menggunakannya selain Adwithya. "Kau tidak perlu melakukan itu semua."
"Maksud, Nyonya?"
"Dari sekian banyak hotel yang dimiliki keluarga Ararinda, aku memilih hotel ini, tempat di mana Jisa bekerja. Menurutmu, apakah ini bisa disebut sebuah kebetulan?" Berkaca pada dinding lift yang memantulkan wajah sembabnya, ia terkekeh pelan. "Aku yang merencanakan ini semua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...