Bab 3

1.4K 94 0
                                    


Secangkir kopi panas masih dengan asap mengepul diletakkan di atas nakas. Adwithya yang sudah memakai rok sepan cokelat dipadukan blus putih duduk di tepi ranjang. Lantas dengan lembut memegang wajah pualam Widyanatha. Itu sangatlah menyenangkan. Bibir merah jambu, hidung mancung, alis tebal, membuatnya candu untuk menyentuh.

"Selamat pagi."

Datar, Widyanatha berusaha menjauhkan diri dari sentuhan istrinya. Menerima penolakan, senyum getir terlukis di wajah giok Adwithya. Lantas memandang pada Bibi Wei yang memegang nampan. "Aku akan pergi kerja. Aku sudah membuatkan sup ayam kesukaanmu. Makanlah."

Kembali pada rutinitas biasa, wanita itu akan mengecup puncak kepala sang suami dan berkata, "Aku mencintaimu, Widyanatha."

Beberapa menit setelah kepergian Adwithya, menggunakan tongkat pria itu berjalan menuju kursi santai di dekat jendela, tempat ia biasa menghabiskan waktu. Bibi Wei kemudian menyajikan semangkuk sup hangat dan segelas air putih.

"Apa aku tidak cukup tegas mengatakan untuk jangan pernah memberikanku makanan hasil tangan kotornya itu?" Sedikit menggeser mangkuk hingga ke tepi meja.

"Tuan, nyonya membuatkannya dengan susah payah."

Prang! Piring-piring berpecahan setelah menerima tepisan tangan Widyanatha. Bibi Wei tergeming di tempatnya setelah berhasil berlari menghindar. Jika tidak, pecahan kaca itu akan berakhir di tubuh tambunnya.

Tanpa rasa bersalah, Widyanatha berkata, "Kau tahu betapa jijiknya aku pada dia, bukan? Jika bukan karena dia membeliku, aku tidak akan pernah mau sedetik pun di sampingnya."

Berdiri di depan pintu, Adwithya hanya mampu menahan diri agar tidak menangis. Suatu kebetulan berkasnya tertinggal dan mengharuskan kembali ke kamar. Ternyata Tuhan sedang ingin menunjukkan, inilah bentuk nyata kebencian Widyanatha yang selama ini dipendam dalam diam.

Melihat prianya melangkah asal-asalan dan hampir menginjak serpihan kaca. Adwithya tanpa berpikir panjang berlari dan membiarkan sang suami menginjak tangannya, sehingga serpihan kaca itu tidak mengenai kaki dari Widyanatha.

Terkejut, Bibi Wei membekap mulut agar tidak berseru: nyonya, setelah Adwithya memandang dengan perintah agar diam saja. Darah mengalir lembut, membasahi kaki Widyanatha yang tidak beralaskan apa-apa.

"Maaf, Bibi Wei." Segera Widyanatha mengangkat kakinya, mengira tangan yang diinjak adalah milik kepala pengurus rumah tangga. "Apa kau tidak apa-apa?"

"Ah, ya, saya baik-baik saja, Tuan." Pulih dari keterkejutan, Bibi Wei berusaha bersikap biasa saja. Sementara Adwithya dengan cepat pergi keluar untuk membersihkan luka.

"Bikinkan saja aku telur dadar dan bersihkan ini semua."

"Baik, Tuan."

Beberapa pelayan berdatangan membawa pel, sapu, dan alat kebersihan. Mereka membisu ketika melihat darah segar di lantai. Itu darah nyonya mereka. Melihat kembali pada Widyanatha, mereka merengut kesal. Pria itu bahkan tidak pernah menghargai nyonya, kenapa nyonya begitu sabar menghadapinya?

***

Lukanya tidak besar, hanya sedikit dalam. Setelah dibilas di bawah air mengalir, dia membalutnya dengan perban. Melihat Bibi Wei datang dengan wajah tertunduk, Adwithya tersenyum tipis. "Jangan merasa bersalah. Aku tidak apa-apa."

"Maafkan saya tidak mengatakan yang sebenarnya pada Nyonya."

Tidak terlihat marah, Adwithya mengambil beberapa telur dan memecahkannya ke dalam mangkuk. Mengabaikan rasa sakit, ia mengiris-iris seledri, bawang putih, dan udang. Tidak lupa menambahkan penyedap rasa dan bumbu lainnya. Tangan itu bergerak cekatan dan dalam waktu singkat telur dadar siap disajikan.

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang