"Widyanatha," lirih Adwithya memanggil suaminya.
Widyanatha yang memilih menyingkir dan tidur di kursi terbangun menyadari ada yang bicara. Dengan sedikit malas balik memanggil Bibi Wei. Namun yang dipanggil justru tak datang-datang.
Menghela napas panjang, akhirnya ia berjalan mendekati Adwithya. Duduk di tepi ranjang, menyentuh dahi sang istri. Itu sudah lebih baik dari sebelumnya, tetapi masih sedikit hangat. "Ada apa?"
"Air." Antara sadar dan mengigau, Adwithya menggenggam tangan Widyanatha. "Air," ulangnya, meneguk saliva dengan keringat dingin menyucur di wajah.
"Air?" Widyanatha meraba nakas di samping ranjang dan hanya mendapati baskom bekas kompresan. Jika ke dapur, itu akan memakan waktu lebih lama. Tidak ada pilihan lain selain berjalan ke nakas di sisi kanan ranjang dan mengambil air bekasnya tadi.
Menggunakan tangan kiri menopang kepala Adwithya, sementara tangan yang lain membantu memegang gelas. Setelah menghabiskan beberapa teguk, ia menyimpan kembali gelas pada tempat semula.
Niat awal adalah kembali ke kursi dan tidur di sana. Siapa menyangka Adwithya akan menyandarkan kepala di dada bidangnya dan memeluk erat hingga tidak bisa bergerak. "Jangan tinggalkan aku."
"Kau sedang sakit. Istirahatlah."
Adwithya membuka mata. Menatap ekspresi canggung yang tercetak di wajah suaminya, wanita itu tersenyum tipis. Itu menggemaskan dan ia menyukainya. Mengabaikan penolakan, melingkarkan kedua tangan di leher Widyanatha. "Temani aku. Jangan pergi."
"Jangan merayuku. Kau sedang sakit, jadi istirahatlah."
"Kau milikku. Apa yang salah dengan merayumu?"
"Kata-katamu mengingatkanku bahwa kau telah membeliku." Widyanatha tersenyum mencemooh. Walau ia tahu bukan itu maksud Adwithya, tetap saja tidak menyenangkan untuk didengar. Seakan menjadi pengingat betapa ia membenci wanita di pelukannya saat ini.
Iris cokelat Adwithya berkaca-kaca, beruntungnya pria itu buta sehingga tidak akan bisa melihat duka yang menganak sungai di wajah. Karena salah satu hal yang paling ia benci adalah terlihat lemah. "Widyanatha."
"Em."
"Apakah aku orang yang sangat jahat?"
Widyanatha terkekeh pelan dengan nada mengejek sekaligus merendahkan. "Haruskah aku menjawabnya? Aku takut kau akan tertawa menyadari betapa jahat dan kejamnya dirimu."
"Ya, aku memang jahat."
Ia benci Adwithya. Ia tidak ingin berbicara atau meladeninya. Namun entah kenapa bibirnya selalu tergelincir untuk menjawab segala tanya. Mungkinkah ini disebut berbaik hati? Memikirkan itu membuat ia merasal kesal sendiri.
"Jika kita dipertemukan tidak dalam posisi yang salah? Mungkinkah kau akan menyerahkan hatimu padaku?"
"Mungkin."
Dia tidak bisa mengelak bahwa mungkin saja itu terjadi. Buktinya di hari pertama mereka berjumpa, diam-diam ada sensasi hangat ketika melihat senyum ramah Adwithya. Hanya saja rasa itu teredam, karena sebagai lelaki setia ia tidak bisa mengkhianati Jisa. Lagipula, rasa kagum adalah hal biasa jika melihat seseorang yang memiliki kecantikan, kekayaan, dan juga segudang prestasi membanggakan, pikirnya.
"Sekali saja, saat kau bersama Jisa, pernahkah aku melintas di otakmu?"
"Pernah."
Adwithya semakin mengeratkan pelukan. Aroma mentol dari tubuh Widyanatha tanpa sadar membuatnya kecanduan untuk mencium lebih dalam. Sangat menenangkan. "Kapan itu terjadi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...