Prolog

5.6K 215 2
                                    

Masih memakai gaun pengantin berkerah tinggi dengan ekor sweep, seorang wanita duduk di atas pelaminan sendirian. Melihat ke depan hanya ada pelayan yang membereskan ruangan. Tersenyum getir, tangannya bergetar menyeka air mata. Harusnya hari ini menjadi hari paling bahagia, tetapi takdir dengan begitu mudah menjungkirbalikkan tawa menjadi duka. Menghancurkan semua mimpi menjadi nestapa.

Memasuki aula pernikahan, seorang pria berjas hitam dengan sebuah pistol di tangan menundukkan kepala ketika melihat pengantin wanita. "Nona Adwi," panggilnya, pelan.

"Sudah menemukannya?"

Pria itu mengangguk.

Adwithya mendesah pelan. Bahkan jika ia sekuat batu karang, hatinya tetap remuk redam ditinggalkan sang suami setelah sumpah pernikahan. "Apa dia bersama Jisa?"

"Ya."

Pengantin pria melarikan diri dari pernikahannya dan pergi bersama sang mantan kekasih. Sebuah tragedi yang sudah Adwithya duga. Lagipula, pernikahan ini juga terlaksana di atas kata paksa. Ketika ia lengah, bagaimana mungkin prianya menyia-nyiakan kesempatan lari dari tokoh antagonis wanita?

"Bawa aku menemui mereka." Berjalan meninggalkan ruangan, setiap langkah terasa berat. Seperti ada ribuan beban yang meminta ia tetap tinggal. Untuk apa mengejar duka dan mempertaruhkan bahagia hanya untuk seseorang yang tidak pernah menganggap kehadirannya? Entahlah, Adwithya selalu gagal menemukan jawaban dan kembali dalam kubangan yang sama: cinta bertepuk sebelah tangan.

Menatap pria yang baru saja memasuki mobil dan duduk di sampingnya, Adwithya bertanya, "Sekretaris Li, apakah aku orang pantas ditinggalkan?"

Pria yang bernama asli Walimana itu menggeleng.

"Kau tidak mungkin menjawab iya atau kau akan dipecat," gumam Adwithya, hampir tidak terdengar. Aku memang pantas ditinggalkan.

Memeriksa pesan dari mata-mata yang ditugaskan menguntit diam-diam, mata Sekretaris Li membulat ketika layar gawai menampilkan tulisan: kecelakaan di dekat dermaga, mobil itu menabrak truk dari arah berlawanan.

"Ada apa?"

Menyerahkan gawai miliknya, Sekretaris Li membiarkan Adwithya membacanya sendiri. Wajah giok wanita itu memucat. "Segera ke lokasi kejadian!"

***

Turun dari mobil, Adwithya menjadi pusat perhatian. Tidak memedulikan tatapan orang-orang ia berlari menembus kerumunan. Dengan wajah panik berkata, "Di mana Widyanatha?"

"Tuan masih terjebak di dalam mobil."

"Terjebak di dalam mobil?" Rasa takut menyerang dalam tulang, menyisakan sensasi gigil tak tertahan. Berdiri mematung, Adwithya memandang seorang gadis terbaring di tepi jalan dengan beberapa warga membantunya.

Menyadari tatapan Adwithya, seorang pria yang merupakan mata-mata yang dikirim menguntit mereka, berusaha menjelaskan. "Wanita itu berhasil keluar dari mobil dan menyelamatkan diri."

"Dia menyelamatkan diri sendiri dan meninggalkan Widyanatha?" Adwithya tersenyum kecut. Itukah wanita yang mati-matian dikejar suaminya? Itukah wanita yang membuat prianya rela kabur setelah pernikahan mereka? Itukah wanita yang disebut cinta sejati Widyanatha tetapi menolak mati bersama?

"Gawat, mobilnya mengalami kebocoran bahan bakar. Mobilnya mulai terbakar." Beberapa orang yang berniat membantu berbalik menjauhi lokasi kejadian ketika percikan api mulai terlihat.

"Terbakar?" Jejak kemarahan tertinggal di iris cokelat gadis bersurai pirang dengan mahkota di atas kepala. "Widyanatha masih di dalam mobil. Kalian harus menyelamatkannya."

"Nona bersabarlah, polisi akan datang sebentar lagi dan menyelamatkan tuan Widyanatha."

Memikirkan hal mengerikan yang mungkin akan menimpa Widyanatha membuat Adwithya kehilangan akal sehat. "Tidak, aku tidak bisa diam saja. Aku harus menyelamatkannya." Mengabaikan larangan, wanita itu berlari menuju dua mobil yang saling bertubrukan di tengah jalan.

"Nona!" Sekretaris Li berteriak panik melihat asap mulai mengepul. Sementara orang-orang berlari menghindari ledakan, wanita itu justru mendekatinya tanpa keraguan.

"Astaga, siapa pengantin wanita itu? Mobilnya akan terbakar, kenapa dia ke sana?" Warga sekitar yang berkumpul untuk melihat kecelakaan dikejutkan pemandangan di depan mereka. "Apa korban itu pengantin prianya?"

"Mungkin saja. Jika tidak, untuk apa dia mempertaruhkan nyawa menyelamatkan pria itu?"

"Dia benar-benar wanita yang baik."

Riuh rendah pujian berpadu kecemasan. Api mulai melalap bagian belakang mobil. Sekretaris Li menelpon polisi berulang-ulang dengan nada mengancam. Selain mata-mata, mereka tidak membawa pengawal untuk membantu proses penyelamatan. Situasi ini membuatnya frustrasi.

Duduk di kursi pengemudi, Widyanatha tidak sadarkan diri dengan kepala membentur setir. Kaca mobil pecah dan mengenai muka serta bagian tubuh lain pria itu. Melihat darah yang berceceran membuat Adwithya menangis sesenggukan.

"Kau pasti selamat." Menopang kepala Widyanatha dengan tangannya, Adwithya dengan perlahan membawa pria itu keluar dari mobil. "Aku akan menyelamatkanmu."

Api semakin membesar. Dengan kekuatan tubuhnya, ia terhuyung-huyung membawa Widyanatha. Melihat itu, Sekretaris Li berlari mendekat. "Mobilnya akan meledak, kita harus menjauh secepatnya."

Dentuman ledakan terdengar kencang, orang-orang berteriak histeris. Syukurnya Widyanatha dengan dipapah Adwithya dan Sekretaris Li berhasil diselamatkan. Namun mereka tetap harus meninggalkan tempat itu sejauh mungkin, mengingat kemungkinan ledakan susulan dalam intesitas lebih kuat.

Berjalan tergesa-gesa membuat Adwithya yang masih memakai sepatu hak tinggi jatuh terkilir. Berhenti, Sekretaris Li mencoba membantu. Namun gadis itu dengan tegas mengatakan, "Bawa dia ke tempat yang lebih aman. Mobilnya mungkin akan meledak lagi."

"Tapi Nona ...."

"Aku bisa menyelamatkan diri sendiri."

Tidak memiliki kapasitas menyatakan penolakan, membuat Sekretaris Li menjalankan perintah dengan setengah hati. Menahan rasa sakit, Adwithya mencoba bangkit dan terus berjalan. 50 meter dari tempatnya, orang-orang diam menonton tidak berani mengambil risiko menjadi pahlawan kesiangan jika akhirnya mereka yang menjadi korban.

Baru saja dia berdiri dan ledakan kembali terjadi. Tubuh mungil itu terhempas ke jalan, seperti guguran daun yang pasrah menunggu kematian. Gaun putihnya berubah merah oleh darah. Orang-orang mulai menjerit, ketakutan.

"Nona!" Teriakan Sekretaris Li bergema. Selaras dengan sirine polisi dan ambulan dari kejauhan.

Setengah sadar, samar-samar Adwithya memandang jauh ke depan, melihat Widyanatha dipapah Sekretaris Li dalam keadaan baik-baik saja, seulas senyum terkembang di wajah gioknya. Widyanatha, aku mencintaimu meski kau tidak mencintaiku. Kau tidak boleh tiada secepat itu. Jika ada yang harus tiada, maka itu adalah orang egois yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan orang yang dicintanya: aku, Adwithya Criselda Ararinda.

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang