Bab 33

811 65 3
                                    

Taman belakang yang terhubung langsung dengan kolam, dihias dengan menawan. Lampu warna-warni berkerlap-kerlip di atas kepala, layaknya ribuan bintang. Kain kasa putih diikat pita pada pilar-pilar, sementara ratusan balon dibiarkan bertaburan di lantai.

Pelayan hilir mudik menyajikan makanan di meja-meja yang terletak di sudut taman. Sementara tamu-tamu mulai berdatangan. Pesta kecil dalam kamus Adwithya, nyatanya lebih besar dan mewah dari sebuah resepsi pernikahan.

Berdiri di dekat pohon ara, Kina tidak berani berbaur dalam pesta. Mengingat kembali apa yang ia ucapkan pada Sekretaris Li, membuatnya malu bukan kepalang. Karena itu ia berusaha menjauh, jangan sampai mereka bertemu apalagi menyapa.

“Karena aku mencintaimu.”

Bulu kuduk Kina bergidik kala kata itu bergema di otaknya. “Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku bodoh sekali, sampai bicara cinta dengan tidak tahu malunya.”

Bergumam sendiri, gadis dengan gaun malam warna abu-abu itu tidak sadar seseorang tengah berdiri di sampingnya. “Mencintai adalah anugerah. Nona tidak perlu merasa bersalah karena mengatakannya pada saya. Sebab memendam perasaan hanya akan membangunkan penyesalan.”

“Kak Li? Kau ... kau ... em, maksudku kenapa kau di sini?” Gugup, Kina meremas tangannya yang gemetar.

“Nyonya menyuruh saya mencari Nona. Setengah jam lagi acara dimulai, nyonya meminta Nona menjadi pemandu acaranya.”

“Ah, ya, terima kasih, Kak Li.”

Sial! Percakapan basi yang membuat Kina geram. Mereka memiliki hubungan yang baik—sebelumnya. Namun setelah pernyataan cinta dideklarasikan, semuanya hancur berantakan.

Menatap Sekretaris Li yang bahkan tidak mau mengangkat kepala untuk melihat wajahnya, Kina berdecak pelan. “Skenario cinta yang mengerikan.”

“Skenario apa, Nona?”

“Aku mencintaimu; kau mencintai kak Adwi; kak Adwi mencintai kak Widyanatha; dan kak Widyanatha mencintai kak Jisa. Bukankah ini skenario cinta yang mengerikan? Kita saling melukai—dengan atau tanpa disadari.”

Kina mengatupkan bibirnya beberapa saat, sebelum akhinya tersenyum hampa. “Aku akan menemui kak Adwi. Lupakan saja yang aku katakan. Itu hanya asal bicara saja.”

"Nona."

Berbalik, Kina menaikkan kedua alisnya. "Apa?"

"Nyonya masih sibuk mengurus beberapa hal. Sebaiknya Nona menemui nyonya nanti saja."

"Oh, ya?" Kina menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Melirik Sekretaris Li, ia bertanya, "Bagaimana jika kita jalan-jalan sebentar?"

Saat raga ingin menghindar, tetapi hati dengan terus terang ingin berdekatan. Bahkan bibirnya tidak bisa diajak kerja sama, hingga dengan berani mengajak pria itu jalan-jalan bersamanya. Kina hanya bisa menyesali itu dalam diam.

"Baiklah, saya juga perlu udara segar untuk menenangkan pikiran."

***

“Jisa terluka?” Adwithya memelankan suara setelah mendengar laporan mata-matanya. “Bagaimana bisa?”

“Beberapa waktu lalu tuan Bram memindahkan lokasi penyekapan, dari Singapura ke apartemen dekat rumahnya. Semuanya baik-baik saja, hingga Jisa berusaha melarikan diri dan terluka setelah jatuh dari tangga.” Pria di balik jendela dengan masker yang hanya menampakkan kedua mata hitamnya itu memberikan amplop cokelat.

“Lalu bagaimana keadaannya?”

“Keadaan apa?” Masuk ke kamar, Widyanatha menatap Adwithya dengan penuh selidik. Melihat ke arah jendela, sekelebat bayang hitam melintas, segera setelah dia datang. “Siapa yang baru saja kau ajak bicara?”

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang