"Sempurna!" Adwithya menjentikkan jari setelah selesai menata rambut Widyanatha dengan gaya curtain haircut yang manis dan menggemaskan. Lantas berjalan ke rak sepatu di sisi kanan. Menatap prianya, dia bertanya, "Kau mau pakai sendal atau sepatu?"
"Sepatu."
"Baiklah."
Memakai celana putih pendek selutut dipadukan kemeja kuning motif floral dengan dalaman kaus oblong senada warna celana, sang suami tampak lebih segar dan ceria dari biasanya. Adwithya memilih sepatu kets putih yang sama dengan miliknya untuk melengkapi penampilan Widyanatha. Berjongkok, dia mulai memasangkan sepatu itu di kaki jenjang prianya. "Aku memasak abalone untuk sarapan pagi. Apa kau mau?"
"Ya."
Adwithya mengulum senyum, senang. Mengingat bagaimana dulu pria itu melemparkan makanan buatannya dan tiba-tiba sekarang berkata ya---tanpa dipaksa---tentu saja ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bahagia. "Hari ini kita akan jalan-jalan ke pantai. Kau mau berenang?"
"Tidak." Widyanatha memegang tangan Adwithya yang masih sibuk menyimpul tali sepatu. Kemudian menarik tubuh wanitanya lebih dekat. Meraba bagian dada, tangannya terlalu liar hingga memegang daerah terlarang.
Berdeham kecil, ia membuang muka. "Maaf, aku hanya ingin memeriksa lukanya."
Tidak bisa menahan tawa, pipi Adwithya berubah semerah delima. Ikut berdeham kecil, ia menaikkan bajunya yang agak turun ke bawah karena ditarik Widyanatha. "Lukanya sudah tidak apa-apa. Aku hanya harus rajin membersihkan dan mengganti perban."
"Jangan berenang, lukanya akan basah dan terbuka."
"Em."
Canggung, Widyanatha menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ayo, ke ruang makan."
"Ya." Menggandeng tangan sang suami, Adwithya bergelayut manja. Meski masih sedikit kaku, setidaknya kali ini Widyanatha bertindak lebih patuh dan hangat. Seandainya hal yang sama terus terjadi setiap hari, mungkin mereka akan memiliki rumah tangga terbaik di dunia.
Menuruni tangga, semua mata tertuju pada Widyanatha dan istrinya. Kombinasi off shoulder two pieces dress dengan model rok slit membuat kesan feminin dan menggoda, sangat pas ditubuh molek Adwithya. Berjalan bersama, keduanya seperti sepasang dewa yang tersesat di dunia fana.
Sekretaris Li tak berkedip untuk beberapa saat. Menyadari tatapan terpana yang diarahkan pada kakak iparnya, Kina menyikut lengan pria berkaus polos biru muda dipadukan jaket denim dan celana santai longgar dengan warna gelap itu. "Berhentilah menatap istri orang, seperti itu mangsa buruan yang bisa kau kejar."
"Apa yang salah dengan menatap kagum seseorang?"
Kina tersenyum sinis. "Tidak salah, jika yang dilihat bukan wanita bersuami seperti kak Adwi."
"Wanita tidak bersuami? Apa maksud Nona saya hanya boleh menatap Nona?" Memandang dari atas ke bawah, Sekretaris Li tetap memasang wajah datar meski Kina tampil manis dengan riasan natural dan rambut tergerai. "Nona tidak kalah cantik dari nyonya."
Kesal, Kina melayangkan satu tinjuan di lengan Sekretaris Li. Sayangnya, bukan pria itu yang meringis kesakitan, melainkan dirinya. Otot itu sangat besar, tidak sebanding dengan tangan kecilnya. "Dasar kanebo kering!"
"Nona." Sekretaris Li menyipitkan mata dengan ekspresi ambigu yang membuat Kina sulit menerka apa yang selanjutnya akan pria itu katakan.
"Em?"
"Apa Nona cemburu pada saya?"
Selepas kalimat itu diucapkan, terdengar erangan panjang menusuk telinga. Mengabaikan kehadiran Adwithya dan Widyanatha, Kina melepaskan satu tendang ke selangkangan pria di sampingnya. Jika membunuh tidak membuat orang berdosa, ia pasti akan menarik dan mencelupkan kepala Sekretaris Li ke laut sampai kehabisan napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...