Bab 35

962 48 0
                                    

Keluar dari sedan hitam milik Adwithya, Widyanatha berjalan terhuyung-huyung. Tidak bisa menemukan Jisa—sekalipun telah memeriksa hampir seluruh rumah sakit di ibu kota—ia memilih ke bar dan menghabiskan waktu untuk mabuk-mabukan. Namun, entah mengapa hatinya merasa tidak tenang. Kalimat terakhir yang istrinya katakan terus saja menghantui pikiran.

“Jika dukaku adalah bahagiamu, jika kemalanganku adalah tawamu, maka biarlah setiap kutuk menjadi nyata.”

Widyanatha menendang bumper mobil dengan brutal. Ada yang menyesak di dada—meminta dikeluarkan. Namun, ia bahkan tidak tahu dari mana pengap itu berasal.

Jika karena wanita bermanik abu-abu itu, kenapa hatinya meragu? Mungkinkah ini berkaitan dengan Adwithya? Istri yang baru saja ia sakiti dengan kejamnya. Semakin banyak pertanyaan mengudara, semakin samar jawaban yang ada.

Menjambak rambutnya sendiri, Widyanatha meraung dengan penuh kemarahan. Perasaan macam apa ini? Hatiku hanya untuk Jisa. Bagaimana bisa itu dikacaukan oleh wanita sejahat Adwi?

Bergulat dengan perasaan sendiri membuatnya kelelahan. Bangkit dari posisi duduk, Widyanatha berjalan menuju taman belakang. Iris hitam itu menyipit kala menyadari balon, lampu, makanan, dan segala hal tentang pesta masih berada di tempatnya. Jejak kekacauan seperti gelas yang dipakai menyiram Adwithya juga tergeletak mesra di posisi yang sama.

Semua pelayan Adwithya memiliki kesamaan dalam hal kecekatan. Mereka tidak akan membiarkan kekacauan seperti ini mengganggu pemandangan sang tuan. Namun, hari sudah menjelang siang dan semuanya belum dibereskan. Bagian paling mencurigakan, tidak ada satu orang pun yang terlihat di kediaman.

“Bibi Wei.” Suara Widyanatha bergema, tetapi tidak ada yang menyahutnya. Apa yang terjadi setelah aku pergi?

Mengambil air di meja, ia menyiramkan itu ke wajah—berusaha mengembalikan kesadaran. Meski hanya sebotol vodka, untuk pria lugu yang minim pengalaman minum sepertinya, itu sama dengan menghabiskan seluruh alkohol di bar. Dengan langkah terseok-seok ia memasuki rumah.

“Pelayan!” Mendorong pintu belakang yang tidak terkunci, Widyanatha mengedarkan pandang pada sekeliling ruangan. Hening. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Terus berjalan sambil berteriak memanggil setiap orang, tanpa sadar ia sudah menjelajahi hampir setiap sudut rumah.

Keadaan taman belakang lebih baik daripada bagian dalam rumah. Ruang tamu, ruang keluarga, dan bahkan dapur berubah seperti kapal pecah. Lukisan dan hiasan dinding berjatuhan. Furnitur-furnitur tergeletak tak utuh di lantai dengan keadaan mengenaskan. Kaca jendela dan lemari berpecahan. Rak buku kesukaan Adwithya seperti tinggal nama. Hancur tak bersisa. Bahkan beberapa di antaranya telah menjadi debu karena habis terbakar.

“Adwi?” Akhirnya nama itu terucap juga oleh lidah. Menuju kamar utama, Widyanatha merasakan ada sesuatu yang salah. Ketika pintu terbuka, aroma amis darah menjadi yang paling pertama menyapa. Disusul cairan merah pekat yang berceceran dari ranjang hingga ke sofa tempat biasa ia bersantai bersama Adwithya.

Tubuh Widyanatha menegang. Jantungnya berdegup tak karuan. Pikiran liar tentang wanita bersurai pirang itu merasuk dalam perasaan. “Adwi?”

Menyentuh cairan warna merah di lantai, pria dengan wajah kusut itu membeku. “Darah?”

Di mana Adwi? Kenapa ada darah di sini? Apa yang terjadi? Di mana semua orang?

Tidak bisa menahan diri, Widyanatha seperti orang gila—mencari ke sana ke mari. Namun, seperti udara yang datang tanpa bicara dan pergi tanpa sampai jumpa. Begitu jugalah Adwithya dan seluruh penghuni rumah. Mereka menghilang tanpa jejak.

Meraba-raba saku celana dan tidak menemukan gawainya. Widyanatha berlari menuju mobil yang terparkir di halaman rumah. Mengambil jas hitam di jok belakang, ia dengan cepat memeriksa riwayat pesan dan panggilan.

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang