Bab 20

1.3K 72 1
                                    

Menyereput segelas cappucino, Dokter Piari fokus menatap laporan medis di mejanya. "Aku sudah mengatur jadwal bersama dokter Peter di Singapura. Operasi pencangkokan mata Widyanatha akan dilakukan minggu depan."

"Kau yakin kali ini kornea matanya akan cocok dengan Widyanatha?" Adwithya menatap penuh asa pria di depannya. Meski sebenarnya ada sedikit kecemasan yang mengakar di hati dan pikiran. Berhubung beberapa kali tes dilakukan dan selalu berakhir dengan kegagalan.

"Kau tidak percaya padaku?"

Menggeleng, Adwithya tersenyum tipis. "Bukan begitu maksudku."

Dokter Piari mengemas segala hal yang berhubungan dengan catatan medis dan meletakkannya ke laci paling bawah. Membuka jas putih yang selalu melekat dari pagi hingga malam, ia berkata, "Untukmu, aku berjanji akan melakukan yang terbaik untuknya. Kau yang paling tahu, Adwi, pantang untukku mengingkari janji. Bagaimanapun caranya, kupastikan dia bisa melihat lagi."

Sejejak luka dan kecewa terukir di mata pria dengan kemeja cokelat muda itu. Bagaimana dia bisa lupa, bahwa karena janji juga dia mengiakan permintaan putus Adwithya. Merelakan gadisnya mengejar seorang pria berkekasih yang sama sekali tidak bisa memberi cinta sebaik dan sehangat dia.

Sebagai kekasih pertama---dalam hal ini berkat keterlibatan Bram mengintervensi Adwithya agar menerima pernyataan cintanya---hubungan mereka dibangun di atas janji, bahwa jika gadisnya menemukan pria yang dicinta, dia sebagai kekasih harus dengan tangan terbuka membiarkan hubungan mereka kandas begitu saja. Meski tidak dilandasi cinta, hubungan keduanya mampu bertahan selama kurang lebih lima tahun. Sebelum Widyanatha akhirnya datang dan mengacaukan benih rasa yang Dokter Piari semai.

Bagaimana caranya bangkit dari cinta yang melekat kuat di relung terdalam jiwa? Semesta bahkan tidak punya jawabnya. Sedalam Adwithya mencintai Widyanatha, sedalam itu juga Dokter Piari mencintai wanita di depannya. Bukankah takdir benar-benar senang mengacaukan benang kama manusia? Di mana seonggok daging bernyawa terjebak dalam kekacauan rasa tanpa berniat mengakhirinya.

"Sudah malam. Aku juga tidak punya pasien untuk ditangani. Bagaimana kalau kita jalan-jalan?" Mengambil kunci mobil dari saku tas, Dokter Piari menatap Adwithya dengan penuh harapan agar permintaannya diiyakan.

"Jangan menatapku seperti itu." Menepuk pelan punggung pria berkacamata itu, Adwithya terkekeh dan langsung melenggang keluar ruangan. "Ayo, aku juga sudah lama tidak menghabiskan waktu bersamamu."

***

Menyusuri jalan setapak di tepi kanal, Adwithya dan Dokter Piari berjalan beriringan. Tempat itu adalah saksi di mana lamaran dinyatakan, juga saksi atas pembatalan pertunangan. Tersenyum getir, pria di sampingnya bertanya, "Apa kau bahagia dengan Widyanatha?"

"Tidak."

Mendelik, Dokteri Piari mengulang perkataan Adwithya. "Tidak?"

"Dia tidak mencintaiku. Saat kami bersama, dia hanya mengingat Jisa. Itu membuatku tidak bahagia." Memasukkan tangan ke saku mantel, Adwithya mengalihkan pandangan pada kapal-kapal kecil yang membawa pasangan-pasangan muda melewati bangunan tua di tepi kanal. "Namun, aku senang menikmati ketidakbahagiaan itu, karena ada dia di sampingku. Bukankah ini sangat lucu?"

Mengikuti arah pandangan Adwithya, Dokter Piari mengembuskan napas panjang. "Dia melukaimu dan itu tidak lucu. Jujur saja, aku membencinya."

"Jangan berkata begitu. Aku yang merelakan diri terluka, saat bisa menghindarinya."

"Oh, ya?"

Adwithya mengangguk.

"Jika aku bilang aku masih menunggumu, maukah kau percaya itu?"

Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang