Puluhan pohon kelapa yang masing-masing dipisahkan jarak dua kaki melambai mesra, menyapa pengunjung yang melewati jalan setapak menuju vila. Melihat ke arah kiri, pesisir pantai dipenuhi manusia dari berbagai latar belakang yang asik berenang, berjemur, bermain pasir, atau sekadar menikmati sang surya dan embusan angin Pulau Tera.
Dengan pasir putih dan keindahan laut yang memukau mata, tidak banyak yang tahu tentang Pulau Tera. Letaknya yang jauh dan terpencil membuat banyak orang tidak terlalu peduli akan kecantikan surga versi dunia. Namun semua itu berubah ketika keluarga Ararinda membelinya dan mengubah itik buruk rupa menjadi angsa elok yang digemari warga mancanegara.
Sampai kini, kunjungan demi kunjungan turis membuat Pula Tera semakin bersinar saja. Itu juga menjadi ladang uang yang menjanjikan bagi Adwithya, karena pulau itu dibeli sebagai hadiah ulang tahun ketujuhbelasnya.
Dari semua pelayan, tidak ada yang memilih liburan. Jadi hanya ada Adwithya, Widyanatha, Sekretaris Li, dan Kina saja. Keempat orang itu berjalan beriringan didampingi kepala pengurus pulau yang juga merangkap sebagai pemandu wisata jika keluarga Ararinda berkunjung.
"Silakan, Nyonya, Tuan, Nona, dan Sekretaris Li." Begitu pengurus pulau membuka pagar, puluhan pelayan membentuk satu barisan memberi salam penyambutan. Di antara mereka ada yang memegang nampan berisi kalung bunga, selendang, dan baju pantai khas Pulau Tera.
"Selamat datang Nyonya Adwi." Seorang pria keturunan asli Pulau Tera memasangkan kalung bunga dan selendang di leher Adwithya, lantas menaburkan bunga sebagai bentuk sukacita atas kedatangan mereka.
Berdiri di depan vila yang memiliki dua lantai dan menghadap langsung ke pantai, Kina tidak bisa menahan senyum bahagia. Didesain menyatu dengan alam, baik lantai atau dinding terbuat dari papan. Perkakas-perkakas yang menghias lebih banyak berbahan batok kelapa. Warna yang digunakan juga sangat nyaman di mata, seperti hijau muda dan cokelat tua.
"Kamar utama di lantai dua. Sementara dua kamar lainnya ada di lantai bawah. Saya dan pelayan lain tinggal di paviliun. Segala keperluan Nyonya sudah kami persiapkan seperti biasa."
"Terima kasih, Paman Jim. Jika kami membutuhkan sesuatu, kami akan menghubungi. Kau bisa pergi sekarang."
"Baik, Nyonya. Saya permisi pergi." Pria paruh baya bertubuh atletis dibalut kaus pantai itu meninggalkan pekarangan rumah, sementara para pelayan tetap pda tempatnya---menunggu perintah.
"Sekretaris Li."
"Ya, Nyonya."
"Aturlah mereka." Adwithya menatap pria dan wanita berseragam merah manggis yang khusus disiapkan untuknya. Mereka adalah yang terbaik di antara yang terbaik dan telah melalui proses seleksi---berhubung ia adalah orang yang sangat pemilih soal pelayan. "Selama seminggu ke depan, aku tidak mau ada kesalahan."
Sekretaris pribadi Adwithya itu maju beberapa langkah, menyerahkan tabletnya pada pelayan. "Ini adalah peraturan yang harus dipatuhi. Lakukan yang terbaik dan dapatkan bonus tambahan. Namun jangan harap bisa hidup dengan tenang jika melakukan kesalahan. Nyonya benci dengan pelayan yang tidak kompeten."
Meneguk saliva berulang kali, para pelayan itu mengangguk ragu. Jika tahu melayani Adwithya sama dengan menjebloskan diri ke lubang buaya, mereka akan berpikir seribu kali sebelum memutuskan ikut seleksi. Sayangnya, tidak ada waktu untuk menyesal selain daripada melakukan tugas dengan kesungguhan dan membuat sang tuan senang.
***
"Nona." Tidak lagi membungkuk sebagai penghormatan, Sekretaris Li langsung mengusap puncak kepala Kina sebagai gantinya. Dia cukup pintar merebut hati orang yang sedang dilayani. Karena jika tidak begitu, bagaimana mungkin selama lima tahun Adwithya dapat betah dan senang mempertahankannya sebagai orang kepercayaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa [END]
RomanceBenar kata orang, cinta adalah hasrat suci yang penuh kegilaan. Seperti awan yang rela menjadi hujan. Layaknya pelita yang membiarkan dirinya terbakar atas nama pengorbanan. Selagi ada harapan, aku terus berjalan menapaki kedukaan hanya untuk tetap...