CHAPTER 38 : WHY DON'T I REMEMBER IT?

12K 1.8K 175
                                    

▪ Ryan POV

Hari-hari berikutnya, kami pun tetap bersama. Aku meminta Irene yang ternyata mahir sihir untuk mengajariku yang lamban ini. Namun, ternyata dia adalah guru yang baik. Bahkan dalam dua hari, aku sudah mulai dapat menggunakan sihir api dan angin dengan lumayan baik.

*woush...trash*
"Hufft... Aakh, aku gagal lagi." kesalku saat tiba-tiba kontrol manaku lepas lagi.

"Dasar payah. Tapi, kamu lumayan bagus, Ryan." remeh dan puji Irene tersenyum padaku.

"T-terimakasih...malaikatku"' tambahku karena malu akan senyumnya sangat menawan dan juga senang dengan julukan baru 'Si Payah' karena aku memang sangat lamban memahami segala pelajaran bahkan latihan di manapun. Dia hanya membalas elakan dan ujaran remeh dengan panggilan 'Malaikat' padanya.

Kemudian, aku teringat dengan hari itu, hari saat aku memeluknya. Setelah dia bilang kalau aku pemeluk pertamannya, aku merasa senang dan gugup. Aku tak tau, hatiku sangat deg-degan saat bersamanya. Yang aku pikirkan hanyalah aku sangat suka di dekatnya. Lain hal dengannya, dia hanya sering bersikap datar dan hanya terkadang menampakkan senyumnya.

Aku penasaran, kenapa dia mengatakan jika itu adalah pelukan pertamanya? Aku pun bertanya dan dia bilang...dia tak pernah dipeluk oleh siapapun. Dia kemudian tampak sedih dan mencerikan tentang ibunya. Aku sangat terkejut saat dia dengan mudahnya mencurahkan isi hatinya padaku. Aku pun berpikir, apa aku sudah membuatnya memercayaiku sebagai temannya?

Lalu, aku hanya mendengar dan menatap wajah sayunya saat bercerita tentang ibunya yang suka marah, orang yang mengatai dan membencinya, dan bagaimana perasaannya terhadap mereka. Namun sesuatu yang dia utarakan dengan wajah hangat dan sendunya membuatku takjub.

"Walau ibu membenciku, aku tetap senang karena dia masih membiarkanku berada di dekatnya, bahkan aku dibiarkan tinggal di rumahnya. Juga...dia tetap membiarkanku hidup. Walau dia memukulku, aku senang karena dia masih merespon kehadiranku dengan ucapan amarahnya. Oleh karena itu, aku merasa tidak terlalu diabaikan."

Aku dapat merasakan ketulusan dari matanya. Ya, dia sangat sayang dengan ibunya. Aku merasa malu karena kasih sayang yang sangat besar masih ia curahkan kepada ibu yang membencinya, sementara aku, aku malah terkadang membuat ibu yang menyayangiku terluka.

Aku merasa kalah.

Namun, aku sangat bangga dan senang bertemu dan berteman dengan gadis bijak ini, Irene.

Lalu setelah beberapa hari, kepulanganku akhirnya tiba. Sebelum pulang, aku melakukan salam perpisahan dengan jalan-jalan dan berduaan dengan Irene. Tentu saja, aku melakukannya tanpa sepengetahuan murid-muridnya paman.

Aku mengukir kenangan kami bersama. Aku mengukir senyumnya di ingatanku. Dan kemudian dia membuatkanku sesuatu. Dia membuat kalung dari batu kristal yang dia berikan padaku. Dia mengubah batu kristal itu menjadi lebih kecil dan mengikatnya dengan logam perak, tentu saja juga dengan bantuan sihir. Aku sangat bahagia dengan hadiahnya.

"Terimakasih Irene, aku janji, jika kita bertemu lagi aku akan mengajakmu bersamaku ke Yurishty."

"Ya, baiklah." tanggap Irene dengan tersenyum tipisnya.

"Lalu...jika sudah besar...mari kita menikah, ya." ajakku memberanikan diri.

"Oh, apa? Hmm...kamu ada-ada saja."

"Ya, aku serius..." ujarku lalu mengambil tangannya dan menciumnya.
*cup*
"Aku ingin terus bersamamu, Irene."

Irene hanya menanggapi normal dan malah aku yang salah tingkah dengan tindakan gilaku sendiri.

.
.
.

Keesokan paginya, aku pergi dan aku pamit dengannya dari kejauhan karena ia tak bisa mendekat kapada para pengawalku. Aku melambai sambil menaruh harapan agar aku bisa kembali bertemi dengannya.

I WAS BORN TO BE ALONE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang