Gian tidak tahu apa yang terjadi semalam, tetapi ia yakin kalau atmosfir di dalam rumahnya berubah menjadi sangat berat. Rasanya seperti ada yang membuang gas beracun dan membiarkannya menguap di sekeliling rumah. Mengisi paru-paru, sehingga membuat nafasnya begitu sesak. Sesak sekali.
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Karena hari ini hari Sabtu, Gian memutuskan untuk membuka kunci pintu dan kembali berdiam diri di dalam kamar. AC yang terpasang di atasnya kembali menghembuskan angin dingin dengan sedikit aroma vanilla. Kepalanya terasa sangat berat.
Hidup bersama anak tunggal dan memiliki tetangga dua pria tanggung yang selalu ribut tidak akan pernah sesepi ini. Mungkin mereka masih tidur karena kemarin malam begadang menonton film, tapi Gian sadar kalau mereka tidak pernah (selama hidupnya) benar-benar diam dan membuat suasana sangat sepi.
Keadaan di rumahnya kali ini ganjil, tetapi Gian memaksa dirinya untuk tetap diam dan tidak pergi keluar kamar. Perasaannya tidak karuan akibat memikirkan hal ini dan semakin tidak jelas karena sesak nafas yang tiba-tiba menghampirinya lagi. Gian menggenggam selimutnya erat-erat sambil berusaha mengatur nafasnya kembali ke normal. Pandangannya pun sudah buram dan itu sama sekali tidak membantu Gian.
Helaan nafasnya semakin memberat karena Gian menyelimuti dirinya dengan selimut besar. Ia berusaha untuk menutupi dirinya akibat tidak mau ketahuan oleh Devan dan membuat orang-orang di sekitarnya menjadi khawatir. Gian bertanya pada diri sendiri mengapa hal-hal seperti ini terjadi lagi hanya karena sebuah foto yang sudah tidak ada gunanya.
Foto yang memiliki memori buruk itu seharusnya sudah musnah dari bumi ini. Itu adalah sebuah bukti bisu di dalam hidupnya yang setia menyaksikan seluruh kehidupan Gian sejak ia salah memilih tujuan hidup. Tapi Azkia tidak bersalah. Ia tidak akan pernah menyalahkan anaknya hanya karena kecerobohan Gian.
Tapi apa itu memang ulahnya? Gian tidak pernah setuju. Gian tidak pernah sadar dan ia tidak akan pernah percaya lagi pada orang-orang. Ia tidak menyukai minuman dari orang asing, jadi itu bukan salahnya kan? Gian seharusnya diam saja. Diam bersama Azkia.
Azkia.
Anak satu-satunya yang dapat perlahan memperbaiki Gian.
Anaknya masih ada di luar sana, aman di tangan Devan karena Marcella sudah tidak ada. Ya. Tidak ada karena Gian tidak sudi melihatnya. Ia sama sekali tidak mau melihat sosoknya lagi karena Gian sudah muak. Cukup. Azkia sudah aman di tangan Juan. Tangan Juan? Gian merasa bingung sekarang. Jadi siapa yang ada di rumahnya? Mimpi buruk ini kembali terulang-ulang tanpa henti.
Bukan Marcella. Bukan setan itu. Kepala Gian semakin berputar dan nafasnya masih sesak. Tangannya kembali menggenggam erat selimut sehingga membekas warna merah di tangan. Berharap semuanya akan berakhir cepat. Gian meringis karena sesuatu mengangkat selimutnya erat-erat, menariknya dari atas Gian sampai cahaya lampu putih menusuk ke matanya.
Bangun. Gian mengernyitkan dahinya karena suara itu sangat keras. Menusuk-nusuk gendang telinganya dan merobek kepala Gian menjadi dua bagian. Seperti ada gergaji yang berusaha membelah kepalanya perlahan dari atas. Gian sudah menyerah, ia sama sekali tidak kuat untuk menahan semuanya. Ia harus bangkit sekarang, lalu ia akan-
"Woi Giano! Bangun enggak lo!" suara yang menusuk kepala Gian datang lagi.
Mata Gian terbuka mendadak, seketika cahaya lampu di kamarnya menusuk pandangan dan membuatnya meringis sakit. Nafasnya terengah-engah saat sadar sedaritadi Devan sudah di dalam kamar dan ia yang menarik selimut tebalnya.
Gian sama sekali tidak ingat jika keringat dingin sudah membasahi sekujur badannya, ditambah dengan raut wajah horor yang dipancarkan Devan kembali membuat Gian ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
loose steps | cheolhan
RomanceGian menyukai hidupnya sebagai single parent dari anak laki-lakinya. Pekerjaan yang stabil, akrab dengan keluarga dan rekan kerja, dan memiliki anak yang pintar sudah lebih dari apa yang ia inginkan. Namun apa yang akan terjadi jika Samudera yang ba...