11 • dunia

350 51 7
                                    

Pernah berpikir kenapa Samudera pindah ke Bandung hanya dengan adiknya?

Itu karena Samudera tidak lagi nyaman di rumah lama bersama kedua orang tuanya.

Dia lahir dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya bekerja sebagai guru dan bunda seorang dokter gigi ternama. Keluarga Samudera hidup dengan bahagia, dan dikenal baik oleh hampir semua warga di komplek tempat tinggalnya dulu. Tidak pernah terdengar berita buruk dari keluarga itu.

Samudera tumbuh menjadi anak yang berprestasi dalam olahraga. Setiap hari Sabtu, ia rajin pergi ke tempat futsal dan pulang hari Minggu. Sampai penjaga tempat tersebut hafal betul dengan Samudera. Kegiatan tersebut didukung penuh oleh orang tuanya, mereka memaklumi Samudera untuk mengejar apa yang ia mau selama memiliki pengaruh baik.

Hal itu membuat Samudera jarang sekali pulang ke rumah. Kadang ia lebih sering menginap di rumah teman, atau tidur di rumah neneknya yang dekat dari tempat latihannya. Sesekali pulang ke rumah untuk mengganti baju-baju kotor dan membereskan kamar.

Sampai suatu hari Samudera pulang, ia melihat ada anak kecil duduk di atas kasurnya.

Hari Jumat itu, kedua orang tuanya sibuk bekerja di luar. Mereka sama sekali tidak tahu kalau anaknya akan pulang ke rumah. Samudera diam memperhatikan anak yang sedang mencoret-coret buku sejarahnya. Ia sama sekali tidak tahu darimana asal anak ini, dan bisa dipastikan juga anak itu bukan miliknya.

Karena Samudera lebih cinta bola daripada wanita.

Anak itu menoleh ke arah Samudera saat ia duduk di sebelahnya. Wajah kecil yang semula serius dengan buku seketika berubah menjadi senyum lebar. Merangkak mendekati Samudera dan bersandar di lengannya

"Bang?"

Samudera melotot. Ia kaget kalau anak ini ternyata sudah bisa berbicara.

Matanya memperhatikan gerak-gerak anak kecil yang sibuk menggeliat di pangkuannya. Sepertinya dia mengantuk, dilihat dari posisinya yang meringkuk kecil dan menjadikan paha Samudera sebagai bantal.

Anak itu tiba-tiba saja tidur.

Samudera semakin tidak bisa berpikir lurus. Seratus persen yakin kalau orang tuanya pasti mengunci kamar dan rumah, sehingga tidak mungkin anak ini tersesat dan masuk begitu saja ke dalam. Anak ini juga bukan siluman atau khayalan Samudera, karena jarinya mencubit pipi anak itu.

Pipinya lucu dan anak ini memang asli manusia.

"Langit?"

Terdengar suara ayahnya dari lantai bawah. Samudera diam tidak bergeming, menunggu sang ayah datang ke kamar untuk menjelaskan semuanya dari awal.

"Langit di kamar ya?"

"Iya. Berdua sama abang."

Tak lama kemudian pintu terbuka, dan muncul sesosok orang yang sudah tua terdiam di ambang pintu. Samudera menahan diri untuk tidak menoleh, ia menutup mata dan merasakan perasaannya campur aduk.

Ayahnya masih diam di depan pintu kamar. Sama sekali tidak bergerak mendekati Samudera atau Langit. Keduanya tidak melakukan apa-apa, masih merasa bingung dengan semua kejadian ini.

"Dia ini anak siapa, yah?"

Tidak terdengar suara apa-apa.

"Aku tanya ayah, anak ini punya siapa?" tanya Samudera.

"Ayah."

"Kenapa bi-"

"Tapi bukan punya bundamu."

"Kenapa bisa?"

Hening.

Kalau Samudera pernah menyesal dan marah karena dilahirkan dari orang tua yang sibuk, sekarang ia bisa merasakannya. Seperti ada sesuatu yang membakar jantungnya hidup-hidup tanpa ada peringatan apapun. Untuk menghela nafas saja cukup sulit.

Akhirnya Samudera mengerti alasan mengapa neneknya selalu merasa kasihan kepada dirinya, dan berpuluh-puluh telepon dari bundanya yang hanya berisi isakan. Kedua orang tuanya hampir berpisah dan Samudera sama sekali tidak tahu apa-apa.

Ia ingat satu malam dimana Samudera dan ayahnya bertengkar sengit akibat anak semata wayangnya yang menjadi harapan keluarga lebih memilih untuk tidak bekerja. Wajah Samudera saat itu memerah setelah ayahnya mengucapkan kalimat yang tidak pernah ia duga.

"Anak egois."

Sejak saat itu, Samudera lebih memilih untuk fokus dalam berolahraga dan melupakan semuanya. Melupakan fakta kalau orang tuanya semakin renggang. Melupakan semua yang sebisa mungkin Samudera lupa. Ia tidak mau ingat apa-apa.

"Maaf kalau abang belum bisa jadi anak yang baik buat ayah sama bunda." Samu menoleh ke arah ayahnya, "tapi Samu bakal berusaha buat jadi abang yang baik buat Langit."

"Abang-"

"Kalau abang di mata ayah sama bunda udah buruk, abang enggak mau kelihatan jelek di mata Langit."

"Abang!" Sang ayah mulai merasa kesal, "kalau enggak tahu apa-apa, jangan sembarangan bicara!"

Samudera terkikik mendengar suara ayahnya yang geram. Setelah bertahun-tahun memiliki firasat buruk (yang selalu ia berusaha tepis) terhadap kedua orang tuanya, mungkin menurut Samu sekarang adalah waktu yang pas untuk menyatakan semuanya.

"Ayah," Samudera perlahan menggendong adiknya dan membawa badan mungil itu pergi ke luar kamar, "selesain semuanya sama bunda. Sehabis itu, jangan pernah tatap muka lagi sama Samudera."

"Mau pindah kemana kita?" Tanya Langit. "Kemarin engga denger jelas soalnya."

"Abang dapet kosan di Bandung, lo juga sekarang sekolah disana." Ujar Samu. "Tolong kasih tau Juan buat kasih tau semua pergi sekarang."

Langit hanya mengangguk. Ia berjalan menuju teras rumahnya, melihat sesosok manusia tengil yang sedang memakan cokelat pasta. Tidak salah lagi, itu Juan.

"Bang Juan, pergi sekarang." Ujar Langit. "Cemong banget lo."

Juan mengelap bibirnya dan tertawa, "abang lo ngasih ini doang buat sarapan anjir. Tau gini tadi pagi gua numpang makan dulu di tetangga."

"Tante Rahayu pasti sedih denger anaknya suka numpang makan," celetuk Samudera, "lulusan tata boga masaknya pasti enak-enak."

Juan merengut mendengarnya, "gua juga sering makan masakan mami kali. Cuma tetangga gua yang ini emang baik, nanti kapan-kapan lo berdua gua ajak dah."

"Yaudah deh, selama gratis." Langit beranjak dari kursi, "mau boker dulu ya."

"Jangan lama-lama, mau berangkat ke Bandung." Ujar Samudera, "macet nanti bisa-bisa kamu rese di jalan."

Sambil menunggu Langit yang sedang berurusan di toilet, kedua pria ini sibuk dengan urusannya masing-masing. Samudera mengecek ulang kardus-kardus yang sudah ditaruh, sementara Langit kembali memakan cokelatnya.

"Bang."

"Naon?" Samudera menggaruk lehernya.

"Kenapa mau pindah ke Bandung?"

"Udah direncanain dari si Langit masih bontot."

"Ku saha?" Tanya Juan.

"Gua." Samudera tertawa, "bodo amat disebut protektif, tapi gua bener-bener enggak mau Langit terkena suatu kejahatan sosial. Lagian selama gua kerja, hasil uangnya juga cukup."

Juan ikut tertawa mendengarnya, "kalau si tante enggak cerita Langit itu adek lo ya, gua awalnya mau ngira lo itu duda bang."

"Selama adik gua bahagia, ya kenapa engga sih."

"Gua mikir nanti pas Langit nikah, lo bakal nangis kejer." Juan tertawa ngakak, "nanti lo bilang, 'aduh adek gua udah gede. Dia mau berumah tangga dengan seseorang yang gua gakenal.'"

"Bacot lo."


.。*♡

jangan lupa vomment!
thank you for reading ~♡

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang