49 • oh, oh, oh mentari

115 12 0
                                    

Mobilnya sedang menginap di bengkel, begitu pula dengan anak laki-lakinya yang menginap di rumah Ami setelah sekian lama ia tidak menitipkannya ke sana. Malam ini hanya ada Gian sendirian di ruang tengah, dengan televisi yang menyala dan mangkuk kosong bekas pasta yang ia masak buru-buru. Matanya sibuk menatap pertandingan basket yang ia tidak paham, karena televisi sengaja dinyalakan agar Gian tidak merasa sendirian.

Akhir-akhir ini Gian terlalu banyak melamun. Senyum lebar Azkia yang berusaha memastikan ayahnya kalau ia akan baik-baik saja selama menginap agak membuatnya curiga. Bagaimana tidak, Gian ingat jelas pertengkaran bisu antara Azkia dan kakak perempuannya waktu itu yang membuatnya merasakan hawa dingin dari Alya selama satu pekan penuh. Meski, yah, apa yang Azkia katakan memang benar pun bukan berarti Alya bisa bertindak semena-mena. Gian reflek memutar matanya ketika ingat tajamnya kalimat Alya padanya.

Terkadang perempuan itu aneh. Entahlah, dalam kasus ini Gian rasa baik laki-laki atau perempuan pun sama anehnya. Mungkin setiap manusia yang berevolusi di muka bumi ini adalah makhluk yang aneh. 

Gian menghela nafas panjang, "kapan aku bisa ketemu seenggaknya sama satu aja laki-laki yang bener." Tangannya mengambil sebungkus keripik kentang dan menjejali mulutnya dengan keripik. "Aku kapok dengan perempuan," gumam Gian. "Kapok amat. Entah aku yang kapok atau memang tidak ketemu sama perempuan yang baik."

Pria itu menjatuhkan diri ke sofa, badannya bersandar sambil menggenggam erat ponsel. Ia bersenandung sedikit dan jarinya mulai scrolling laman Instagram, melihat semuanya bergulir dengan cepat. Lagipula Gian tidak memiliki banyak following, jadi kemungkinan ia hanya melihat apa yang teman-temannya lakukan. Berlibur ke Kanada, berenang di pantai sambil menyedot air kelapa batok yang kemungkinan sengaja dimahalkan oleh penjual, hiking sampai ke puncak dan kemungkinan saat pulang diganggu hantu, Gian terkikik melihat semua foto tersebut.

Namun ketika dipikirkan lagi, teman-temannya beruntung karena mereka bisa pergi. Sementara Gian hanya di rumah mentertawakan orang lain sambil mengenakan piyama Donald Duck jelek yang sudah seharusnya menjadi kain pel. Ia otomatis menutup mulutnya karena merasa sedikit bersalah. Mungkin memang sudah saatnya ia juga pergi berlibur mengunjungi pantai dan pulang dengan kulit tan seperti model-model luar negeri dengan badan ideal mereka. Membayangkannya saja membuat Gian berguling mengganti posisi rebahan sambil membuka explore page untuk scrolling tidak jelas lagi, entah sampai jam berapa Gian akan selesai melakukan kegiatan ini. Anaknya menginap, besok libur kerja, rasanya seperti kembali ke liburan semester ketika Gian masih SMA dan bebas untuk melakukan apa saja tanpa ada tekanan. 

Mungkin tidak sebebas itu karena ia masih ada di bawah lingkaran mantannya. Rasanya seperti hewan lemah yang dikelilingi oleh burung gagak di atas langit.

Gian mengerang sambil mengusap wajahnya keras-keras. Ada apa dengan kepalanya yang selalu memutar kenangan jelek itu? Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti berpikir dan mengingat soal manusia jahat itu. Namun sepertinya memori Gian memang suka melihat pemiliknya kewalahan hingga menangis sambil ditemani minuman keras di meja riasnya. Gian menggeleng kepalanya keras-keras, berusaha untuk menghapus isi kepala meski tidak ada hasilnya.

"Apa yang terjadi pada Gian.." ujarnya. "Apa yang terjadi pada Gian sehingga ia tidak bisa-"

Racaunya berhenti ketika sebuah foto laki-laki tinggi muncul di laman Instagram. Gian tertegun menatap intens foto tersebut, membuat gir yang berada di dalam kepalanya perlahan memutar setelah beberapa bulan tidak digunakan. Hingga saat matanya tertuju pada kemeja laki-laki itu, gir di kepalanya berhenti bergerak dan tersusun seolah memunculkan lampu bohlam di atas kepala Gian.

"Anjing, tiba-tiba lupa sama si Manggala." Kedua mata Gian terbelalak. "Bener juga! Manggala! Kenapa akhir-akhir ini jarang cerita ke dia ya? Ah gila aja sih," jemarinya dengan lincah membuka aplikasi chat dan sibuk scroll jauh ke bawah hingga ia menemukan nama yang penuh nostalgia, "kayaknya emang beneran harus komunikasi lagi. Banyak yang perlu diceritain, kenapa nggak kepikiran terus ya?"

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang