42 • langit berpetir, samudera berombak

190 22 4
                                    

"Iya. Gimana hubungannya sama om Gian?"

Samudera tidak bermimpi. Semua ini memang nyata ia hadapi sendirian di malam hari. Batinnya sama sekali tidak memunculkan jawaban yang pas untuk menjawab, sementara adiknya duduk berdiam diri menunggu jawaban dari Samudera yang tidak kunjung muncul.

"Fuck, hahaha. Kenapa tiba-tiba tanya?"

Ia yang semula tertawa hambar kini jadi terdiam setelah mendengar Langit yang sama-sama ikut tertawa. Sarkasme dari Langit adalah salah satu hal yang tidak dapat Samudera duga. Kini ia hanya bisa terdiam mampus menunggu apapun yang Langit ucapkan nanti.

"Bukan apa-apa, Langit enggak nyangka aja kalau abang masih bisa hubungin dia. Atau enggak?" Pertanyaan itu seolah menusuk dada Samudera dalam-dalam.

Menyadari Samudera tidak memberi respon apapun, Langit kembali tertawa kecil sambil menambahkan, "apa yang udah kejadian disana selama Langit enggak ada di kosan itu sama abang?"

"Banyak. Banyak banget." ujar Samudera. "Abang hopeless sama semuanya yang ada. Enggak kepikiran sama sekali mau ngapain lagi dan ada keinginan buat balik lagi ke sana."

"Buat apa?" Suara Langit seperti sedang menyindir kakaknya. "Abang kan, udah besar. Kenapa mau pulang lagi kesini?"

Samudera terdiam. Ia tahu itu bukan untuk dirinya, namun dadanya sesak bukan main. Seolah dunia memang menyuruhnya untuk menyelesaikan apa yang masih ada disini. Berdiri di depan apapun yang Samudera takuti untuk dihadapi.

"Hubungan abang sama Gian," tangan Samudera meremas erat ujung bajunya, "kurang baik. Enggak bisa disebut merenggang, tapi abang juga enggak bisa bilang kalau kita bakal jadi sesuatu yang besar nantinya."

Tawa khas adiknya menggelegar dari seberang telepon. Bukan tawa yang hangat dan dipenuhi harapan, namun tawa yang bergerak gesit seperti cutter kecil, menyayat dada Samudera untuk menciptakan luka yang lebar.

Selebar namanya. Selebar Samudera.

"Langit udah bisa tebak apa yang bakal abang bilang, tapi.. ini enggak termasuk ke sesuatu yang bisa ditebak tadi." ujar Langit.

"Maaf. Abang enggak tau harus jujur ke kamu kayak gimana lagi–"

"Kalau abang sebut nama orang itu sekarang juga, apapun penjelasannya, ada kemungkinan telepon ini bakal dimatiin sama Langit."

Samudera tertegun. "Nama siapa yang lo maksud?"

"Apa?"

"Nama siapa yang lo maksud?"

"Joshua." Ia dapat mendengar gigi Langit yang sedikit gemeretak. "Dia kan? Yang buat abang sama om Gian hubungannya renggang?"

"Hubungan apa? Selama ini kita sama sekali belum jadi apa-apa—"

"Selama ini abang bilang? Jadi selama ini lo gantungin orang yang hidupnya kacau dan pas lo udah hopeless sama keduanya, jadi kabur ke gua?"

Nafas Samudera yang mulai tidak beraturan itu semakin membuat Langit merasa tertantang, "ternyata abang sepengecut itu buat main dibelakang sama Joshua ya? Ceritanya mau ikut jejak ayah?"

"Anjing. Tutup mulut lo, Langit."

"Dan Langit dengan senang hati bakal matiin telepon ini sekarang juga kalau memang itu kenyataannya."

"Abang telepon lo buat minta saran, Lang." Samudera berusaha membuat isi kepalanya netral, "gue bingung sama apa yang gue lakuin ke Gian, bahkan bingung harus mulai darimana karena isi kepala dia terlalu kompleks banget."

Saran yang semula Samudera harapkan malah diganti oleh suara tawa yang keras. Bukan tawa bahagia dan lega karena Samudera mengakui apa yang ia pikirkan, namun suara yang menyayat hatinya, persis seperti ketika Samudera berseteru dengan Gian.

"Gua tau semuanya bakal kayak gini." Langit berusaha terdengar tenang, tetapi mustahil. "Lebih baik sekarang abang tutup teleponnya, sebelum gua memutuskan buat nggak berhubungan sama lo lagi. Lo tuh udah besar, bang. Kenapa sih malah hancurin kesempatan lo satu-satunya?"

"Kesempatan apa? Kesempatan apa yang abang punya dari situasi ini?"

"Banyak bang, banyak!" ujar Langit. "Lo tau apa yang gua rasain ketika bang Kipuy ngabarin kenapa dia pulang kampung? Itu karena dia nggak nyaman, liat lo sama Joshua berduaan terus-terusan, terutama dia sadar kalau lo udah sering pergi sama om Gian!"

Kedua mata Samudera sedikit membulat. Ia sama sekali tidak tahu. Semua orang tidak memberitahu apapun, dan Samudera tidak tahu dimana kesalahannya. Kenapa ini bisa terjadi?

"Gua kecewa. Bener-bener kecewa sama apa yang lo lakuin." Langit menghela nafas panjang, "dan gua rasa semua ini udah cukup jelas buat lo, abang gua, paham sama situasi ini dan tau harus minta maaf ke siapa. Karena gua udah muak, liat kelakuan lo yang mirip sama ayah."

Sebelum ia mampu menjelaskan posisinya lagi, telepon tersebut sudah dimatikan secara paksa oleh adiknya.

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang