12 • sebelum

373 58 6
                                    

Jujur, selama Gian hidup di bumi dan mengurus Azkia sampai tumbuh besar, baru kali ini ia merasa sangat gugup saat mendatangi sekolah anaknya.

Hari Kamis yang seharusnya digunakan sebagai waktu untuk tidur siang dan pergi ke klinik, malah Gian pakai untuk mengambil rapor milik Azkia. Ini semua terjadi karena Ami (panggilan kesayangan dari Azkia untuk neneknya) tiba-tiba saja mengadakan arisan di rumahnya.

Sejak Azkia memasuki SD, Gian selalu tidak bisa mengambil rapor karena dituntut pekerjaannya yang menumpuk. Maka Ami menawarkan diri untuk mengambil rapor milik cucunya. Tetapi sudah beberapa tahun Gian menyalahgunakan kesempatan ini sebagai me-time yang tidak ada habis, dan Ami merasa hari ini adalah waktu yang tepat untuk Gian supaya ia bisa pergi dari zona nyaman.

(Dalam arti lain, Ami bosan mengambil rapor milik cucunya dan ingin kabur dari semua skenario anaknya.)

Alias kembali melihat lingkungan sosial dengan nama sekolah, yang menurutnya sangat menyeramkan.

Keadaan SMA yang berada di depannya sekarang sangat berbeda jauh dengan keadaan SMA saat Gian masih bersekolah. Gian berusaha untuk tidak mengumpat ketika beberapa anak laki-laki sengaja menyenggolnya- mungkin karena Gian lupa untuk menutupi warna rambutnya yang cukup terang- dan lebih memilih untuk tetap merasa tenang. Benar-benar susah untuk mencari kelas Azkia saat koridor sekolah dipenuhi oleh orang tua dan beberapa murid yang berkeliaran.

"Eh? Om Gian?" Seseorang dari arah kanan Gian menepuk bahunya.

"Lho, ada Langit?" Gian menoleh ke arah anak itu, "Kenapa ada di gedung SMA? Mas Samu enggak ambil rapor?"

"Kalau SMP sih besok om, Langit habis dari kelas kakel," ujar Langit sambil merapikan seragamnya. "Terus sengaja lewat gedung SMA soalnya mau naik angkot di depan."

"Um, boleh enggak minta tolong anter ke kelasnya Azkia? Nanti kamu pulang bareng kita aja."

Langit merenung sebentar, lalu mengangguk. "Yaudah deh. Daripada aku harus keluar ongkos."

Keduanya berjalan menyusuri koridor yang cukup panjang, hingga berbelok ke kanan ke kiri, dan akhirnya sampai di kelas Azkia. Gian baru saja sadar kalau kelas anaknya lumayan jauh dari gerbang, tetapi Azkia masih kerap datang terlambat (meskipun tidak pernah tertangkap BK).

Setelah Gian mengucapkan terima kasih pada Langit (yang kabur ke kantin), ia menarik nafas dalam-dalam lalu membuka pintu kelas. Gian buru-buru duduk di kursi terdekat dan menatap ke arah guru yang sedang menjelaskan beberapa poin penting dari nilai.

Tanpa ia sadari kalau ada beberapa orang tua murid yang merasa heran melihat Gian yang muncul begitu saja.

"Kak, ini absennya." Seorang murid menyodorkan sebuah papan jalan ke arah Gian sambil tersenyum lebar.

Dilihat dari penampilan stereotipe rapi dan necis, Gian sudah yakin betul kalau anak ini adalah ketua kelas. Diraihnya papan tersebut berserta pulpen, dengan hati-hati Gian mengisi namanya di kolom sebelah nama Azkia.

"Sudah diisi ya."

"Sip, makasih banyak ya kak." Bagas (nama yang tertera di rompinya) mengambil kembali papan, "nanti kalau gilirannya bakal dipanggil kok."

"Oke nak. Thank you."

Gian menghela nafas dalam. Ia tiba-tiba merasa grogi ketika melihat seorang wali murid pergi keluar dari kelas. Menjadi sebuah tanda jika sebentar lagi adalah gilirannya. Berbagai skenario tayang di dalam pikiran Gian, tentang bagaimana caranya ia akan memperkenalkan diri pada wali kelas Azkia. Gian ingat jika first impression sangatlah penting, apalagi urusan sekolah anaknya.

"Kepada orang tua dari Gilang Azkia Prahesta?"

Gian beranjak dan berjalan ke arah meja guru. Ia merasa sangat gugup, rasanya jantung akan melompat dari tempatnya dan berlari pulang dengan sendirinya. Beberapa pasang mata wali murid lagi-lagi menatap rambutnya.

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang