47 • musuh dalam selimut

207 14 0
                                    

Juan tidak bisa segamblang itu dalam mengungkapkan perasaannya, baik secara verbal maupun non verbal. Sejak kecil ia diajarkan untuk sebaik mungkin memilih kata sebelum berbicara kepada seseorang atau sekelompok orang. Ucapan yang nantinya ia keluarkan tidak bertahan lama di udara, namun pastinya akan membekas dalam batin seseorang. Layaknya luka, meskipun terbuat secara tidak sengaja pasti akan menyisakan bekas dan orang yang terluka akan tetap mengingatnya.

Nasehat kedua orang tuanya mengenai hal itu tiba-tiba saja ia ingat sekarang entah darimana asalnya. Juan duduk berhadapan dengan manusia yang tidak tahu apa-apa, hanya memakan pizza dingin dalam diam. Di kedua pipinya tercetak jelas bekas air mata yang sudah cukup lama mengalir, dan ia tidak terlalu peduli untuk menghapusnya, mungkin karena tahu kalau nanti akan menetes lagi. 

Terhitung sudah ada tiga potong pizza keju sudah habis dimakan Joshua, dan lagi-lagi Juan sama sekali tidak protes. Merasa ingin memanggilnya rakus juga tidak. Justru ia merasa agak iba terhadap pria di hadapannya ini, mungkin karena Juan tiba-tiba menculiknya tanpa membiarkan Joshua mandi atau berganti baju dahulu. Tapi ini termasuk ke dalam kesempatan yang susah untuk terjadi kedua kalinya. Joshua adalah seorang pekerja kantoran yang tidak tahu kapan akan memiliki waktu luang, dan Juan hanyalah pria tanpa pekerjaan yang kapan saja bisa pergi.

Mereka belum berbicara apa-apa sejak Juan menyeretnya keluar kosan dan berjalan menuju rumahnya. Memang tidak menarik Joshua dengan fisik, tetapi Juan berhasil merayunya seteelah berada di depan rumah agar setuju menginap satu hari disana. Dengan jaminan akan diantarkan ke kosan kembali tanpa diketahui Samudera dan lima lembar uang merah. Juan sendiri tidak tahu kenapa ia menawarkan uang tersebut, tetapi ada sebuah perasaan di dalam hatinya yang mengatakan kalau hal ini benar, meskipun uang jajannya akan hilang beberapa.

Kini dua pria tersebut masih memakan pizza dalam diam, sesekali menatap satu sama lain untuk memastikan makanan tersebut terbagi dengan rata. Kamu boleh mengatakan kalau Joshua adalah orang yang gampangan, sebab ia sendiri tahu dan menganggap hal tersebut benar. Hanya bermodalkan ucapan manis tidak sampai menyerupai sebuah kalimat pun Joshua dapat melakukan apapun dengan baik, sambil berusaha untuk menjadi yang paling luar biasa.

Ketika masuk ke rumah Juan juga, tidak ada kalimat mencurigakan keluar dari bibir Joshua. Ia setuju dengan rencana Juan yang memintanya untuk tetap diam dan menjawab segala pertanyaan dari bundanya dengan senyum. Tidak perlu ada kalimat apa-apa lagi, dan otak Joshua langsung memahaminya. Seolah memberikan perintah untuk seekor anak anjing yang masih belajar mana yang boleh digigit dan mana yang tidak.

Sedikit demi sedikit, Juan paham dengan perasaan ini. Meski belum pernah menghabiskan waktu dalam jangka yang lama bersama dengan Joshua, Juan cukup puas melihat bagaimana Joshua bertingkah laku dan ekspresi wajahnya yang mudah buyar, ditambah gerak-gerik badan yang terlihat kebingungan. Seperti membuat Juan mengerti dengan perasaan yang mungkin sudah sering Samudera rasakan ketika sedang menghabiskan waktu dengan Joshua.

Tempting.

Seperti ada sebuah rasa ingin berkuasa. Ingin mendominasi, membuat takut dan mungkin membuat sosok di depannya semakin tidak berdaya di bawah badannya. Ada tali pita yang mengikat dan menarik setiap ujung jari tangan Juan ke arah leher Joshua yang bersih itu, seolah ingin membuktikan perasaan dengan jelas. Seperti ada asap berwarna pekat yang muncul dari belakang badan Joshua, mengisi pernafasannya dengan aroma menarik yang belum pernah Juan rasakan.

Ini benar-benar emosi paling aneh yang pernah Juan rasakan. Mungkin bercampur dengan kepalanya yang masih panas akibat mendengarkan apa yang ada di kosan tadi. Meskipun begitu, Juan sama sekali tidak paham kenapa Joshua tidak mengucapkan apapun selain makan pizza dengan damai.

"Kenapa?"

Joshua menggelengkan kepalanya. 

"Masih mau nangis lagi atau nggak? Perlu tisu?"

Joshua menunduk. Jujur, ia merasa tidak nyaman karena masih menggunakan pakaian kerjanya. Kotor, berkeringat, dan sesak. Tas selempang miliknya tergeletak tidak bernyawa di dekat meja belajar milik Juan, tidak jauh dari tempat duduknya tetapi Joshua tidak berani untuk mengambilnya. Ada sesuatu yang membuat badannya beku di tempat sehingga Joshua tidak mampu mengambil tasnya lalu pergi keluar dari rumah yang ia tidak ketahui ini.

"Kamu lebih nyaman disini daripada di kosan sekarang." Kalimat itu menarik perhatian Joshua, tetapi Juan tidak tertarik saat Joshua menatap kedua matanya. "Yakin. Nggak baik ada di tempat yang isinya ada Samudera."

"Kamu.. habis dari kamar Samudera?"

"Kenapa peduli?"

Joshua tertegun, "aku bisa papasan sama kamu di koridor meskipun kamu buat aku jatuh."

"Bukan berarti aku dari kamarnya kan?"

"Kamu berdiri di sebelah pintunya." ujar Joshua. Wajahnya hampir merah padam, entah apa yang ada di dalam pikirannya. "Kalau mau bohongin aku, seenggaknya berusaha sedikit."

"Maaf." Juan menghela nafas panjang, "aku nggak tau mau bilang apa daritadi. Tapi aku masih nggak mau kamu pulang dari sini dulu intinya. Cuma, aku nggak tau harus mulai percakapan kayak gimana biar kamu nyaman disini tanpa harus mikirin Samudera."

Joshua terdiam mendengar perkataan tersebut. Ia sedikit paham dengan konteks yang Juan katakan tadi, tapi masih merasa ragu apakah Joshua harus mengatakan semuanya sekarang. Apapun yang Juan hadapi tadi sebelum ia menabrak badannya pasti cukup membuatnya pusing. Dan mau tidak mau, Joshua harus mau paham agar pembicaraan diantara keduanya berjalan lancar.

"Kamu.. ngerti kalau aku temennya Gian kan?"

"Iya. Aku juga kenal kalau kamu deket sama Samudera."

"Apa yang kamu mau tau?"

"Maksudnya apa?"

"Kamu kemungkinan habis dari kamar Samudera sambil marah-marah. Aku nggak tau apa yang ada di pikiran kamu, tapi pasti ada hubungannya sama aku karena kamu ajak aku ke sini padahal kita sama sekali nggak pernah ngobrol lama banget." ucap Joshua panjang lebar, "bahkan kita aja bukan temen deket."

Rasanya seperti ada bohlam di atas kepala Juan. "Ada yang mau aku tanyain soal kamu sama Samudera."

"Tentang aku yang jadi orang ketiga diantara mereka, kan?"

Juan terdiam. Ia tidak tahu kalau Joshua dapat menangkap apa yang ia maksud, padahal Juan berusaha untuk tidak menyebutkan nama Gian dalam percakapan sekarang.

"Jujur aja, Juan. Aku bisa ungkap apa yang aku rasain dan apa yang aku hadapi selama ini karena aku juga sama-sama muak." 

"Terus kenapa nggak bicara ke Gian langsung atau bilang ke Samudera kalau kamu nggak nyaman ada di posisi ini seolah kamu yang salah padahal nggak? Kenapa nggak jujur aja?"

Joshua sedikit terkejut mendengar kalimat spontan dari Juan tersebut. Ia menaruh potongan pizza yang belum selesai dimakan, dan merebahkan badannya pelan-pelan di atas karpet. Matanya terpejam sambil memikirkan jawaban yang tepat agar ia bisa mengeluarkan seluruh isi hatinya tanpa harus meneteskan air mata untuk kesekian kalinya.

"Aku mau diselamatkan. Itu aja." 

Perasaan marah Juan tiba-tiba menguap entah kemana setelah melihat ekspresi wajah Joshua yang cukup membingungkan, "kakak bisa cerita ke aku aja sekarang."

"Dan berharap untuk diselamatkan sama kamu?" Joshua tersenyum simpul seraya menatap ke arah Juan, "no fucking way."

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang