22 • stroberi

338 44 8
                                    

"Tumben banget lo beli lipbalm bang?" tanya Juan.

"Bibir gua kering banget akhir-akhir ini." Samudera kembali mengoles bibirnya.

"Lo mau cipokan sama siapa?"

Samudera menoleh ke arah Juan yang menatapnya dengan pandangan aneh. "Maksud lo cipokan apaan deh?"

"Kenapa lo dandan? Begaya amat." Juan memutar matanya. "Mana kagak ngajak gua lagi."

"Lo nanya sinis banget dah." ujar Samudera sambil mengolesi bibirnya. "Kan gua tadi udah minta lo jagain Langit."

"Bang, Langit udah segede gaban gitu mau gua jagain gimana deh?" tanya Juan kesal, "harus gua gendong kemana-mana sambil disuapin bubur?"

"Kalau lo bisa sih, kayak gitu juga gak apa-apa." Samudera beranjak dari kursinya, "sekarang si Langit lagi main tenis meja di rumah pak Dewa, nanti kalau udah balik lo berdua beli makan di warteg aja ya."

"Gua nebeng sampai rumah pak Dewa dong, ada di depan komplek kan ya." Juan mengambil kunci motor Samudera dan menyalakan mesinnya, "tapi gua duluan yang nyetir, biar kalau ngeliat mantan gua bisa tancep gas."

Samudera hanya menuruti perkataan Juan tanpa mengucapkan apa-apa. Bukan karena ia malas bicara, tapi ia baru sadar kalau bibirnya terasa begitu tebal dan aneh. Samudera terlalu fokus sampai mengoleskan lipbalmnya terlalu banyak. Jujur saja, ini kali pertamanya menggunakan lipbalm tanpa ada tujuan yang jelas.

Ia terlalu sibuk mengurusi bibirnya sampai lupa jika keduanya sudah sampai di depan rumah pak Dewa. Terdengar suara tak tok tak tok -tepokan tenis meja- dari dalam garasi besar itu dan juga teriakan antusias Langit juga ikut terdengar.

Samudera turun dari motor dan menggenggam setir sambil menunggu Juan turun. Kemudian ia memberikan beberapa lembar uang biru kepada Juan, sambil mengenakan helmnya lagi. Samudera menyalakan motor dan menarik gas.

"Itu uangnya buat makan berdua ya, kalau ada sisa buat lo aja. Soalnya gua enggak tau balik jam berapa." ujar Samudera sambil menarik gas lagi. "Jagain adek gua ya pokoknya."

"Siap bang, dadah!" Juan melambaikan tangannya ke arah Samudera dan berjalan memasuki rumah bertembok cokelat itu. Terlihat Langit sedang mengelap dahinya yang basah dengan keringat, sambil tertawa mendengar lawakan dari bapak-bapak yang duduk di sebelahnya.

Sebelum Juan dapat menyapa keduanya, Langit sudah beranjak dari kursi dan menarik lengannya tiba-tiba. Juan kebingungan karena ini sama sekali tidak direncanakan sebelumnya oleh Langit ataupun Samudera. Raut wajah Langit juga cukup mencurigakan bagi Juan, seperti ada sesuatu yang disembunyikan.

"Pak, Langit pulang dulu soalnya udah dijemput sama bang Juan." ujar Langit tanpa ada aba-aba, "nanti lusa Langit ajak main lagi ya pak!"

Keduanya berjalan dengan tempo cepat sambil keluar dari rumah tersebut. Juan berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Langit karena ia hampir saja terseret olehnya. Meskipun badan Juan jauh lebih besar daripada Langit, energi yang ia miliki lumayan kurang mendukung perawakan tubuhnya.

"Aduh, bentar Lang! Ada apaan sih?" ujar Juan.

Langit menghiraukan pertanyaan Juan dan kembali berjalan jauh, hingga akhirnya sampai di kosan. Dua manusia itu duduk di teras sambil mengatur nafasnya yang masih ngos-ngosan. Karena terlalu capek, Langit sampai rebahan di dekat jejeran motor yang diparkir di dekatnya.

"Tadi abang bilang mau pergi kemana?" tanya Langit dengan wajah yang misterius.

"Mau ketemu sama orang katanya, enggak tau siapa dah."

"Dia mencurigakan kagak gerak-geriknya?"

"Enggak, tapi tumben aja gitu pake lipbalm." ujar Juan, tanpa menyadari raut wajah Langit semakin menjadi aneh. "Kayak mau kencan aja itu manula satu."

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang