Juan berdiam diri di dekat tangga sambil berusaha untuk memproses apa yang baru saja ia dengar dengan jelas dari kamar di sebelahnya. Niat awalnya yang ingin membuka pintu tersebut sudah hilang entah kemana, berganti dengan rasa muak dan kesal yang ternyata cukup masuk akal untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di balik tirai. Ia terkejut sehingga mulutnya menganga, bercampur dengan kebingungan.
Kepergian Langit ke kota asalnya sempat membuat Juan merasa sangat berat hati, mengingat bagaimana anak itu sering bermain dan mengajaknya bertanding tenis meja berkali-kali sampai lelah. Lalu Gian yang sekarang selalu pulang dan pergi sendirian juga membuatnya curiga, namun Gian tetap meyakinkan Juan kalau ia tidak apa-apa karena ini semua hanya tuntutan pekerjaan yang banyak. Semuanya terlihat normal, karena Juan melihatnya sekilas tanpa lebih memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.
Sekarang semuanya bergerak menyatu, mengisi bagian kosong dari pertanyaan yang pernah Juan pikirkan. Tentang kebiasaan Azkia yang terkadang lebih sering menginap di kosan temannya daripada pulang ke rumah, lalu perkataan Kahfi yang masih mempertimbangkan untuk kembali ke kosan, dan Devan yang selalu diam saat Juan bertanya tentang kabar Gian di kantornya mengarah kepada satu nama yang cukup untuk menjawab seluruh pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Seperti sebuah benang yang Juan temukan dan memapahnya menuju sebuah jawaban.
Samudera.
Samudera.
Si tolol itu.
Niatnya ia ingin mengajak Samudera untuk makan malam di kamar kos miliknya karena Juan tahu kalau Samudera mungkin merasa kesepian karena adiknya pulang tanpa mengajak dirinya. Teman satu-satunya pun sama sekali belum kembali ke kosan karena masih sibuk di daerah asal. Tetapi saat pendengarannya mendarat lebih cepat daripada kedua kakinya di kamar Samudera, sekarang Juan mengerti dengan semua yang sudah disembunyikan dunia dari hadapannya. Tidak mengetahui urusan orang lain memang membuat hidup berjalan lebih simpel, namun itu bukan prinsip hidup Juan.
Dan perasaan Juan, lebih dari kata muak. Ia sangat marah karena tidak bisa menyadari orang yang dianggapnya baik sudah menghancurkan Gian tanpa sadar. Tetapi Juan sendiri tahu jika semua ini tidak bisa disalahkan, dan ia juga tidak bisa menyalahkan dirinya sendiri. Situasi ini tidak bisa diperbaiki dari sisi manapun karena Samudera sendiri belum tentu mau, dan kemungkinan tidak ingin untuk memperbaiki.
Ia pergi dari depan kamar Samudera dengan hati-hati agar tidak ketahuan meskipun batinnya menjerit dan ingin memarahi Samudera habis-habisan. Sekarang Juan malah merasa kesal pada Gian yang tidak mau bercerita tentang situasinya, sebal dengan Devan yang menutupi apa yang sebenarnya bisa ia perbaiki, dan sedih dengan Azkia yang semakin lama semakin memiliki jarak dengannya. Juan sebenarnya bingung ingin merasakan apa, tetapi untuk sementara, ia akan menyalahkan beberapa orang yang tidak mau berinteraksi dengan dirinya dahulu.
Terlalu banyak berpikir tentu akan membuat seseorang hilang fokusnya. Juan hampir saja menjatuhkan semua makanannya jika ia tidak berpegangan ke teralis tangga dan membuat tulang ekornya kesakitan. Untungnya hal tersebut terjadi pada pria yang entah darimana tiba-tiba menabrakkan dirinya secara tidak sengaja ke badan Juan yang tadinya sedang berpikir keras. Pria tersebut jatuh tersungkur ke belakang dengan kepala yang hampir saja terbentur anak tangga jika ia tidak hati-hati.
Juan terdiam membeku ketika pria itu meringis kesakitan sambil memegangi bagian belakang kepalanya yang pastinya terasa nyut-nyutan. Suaranya tidak terlalu asing di telinga Juan, tetapi tidak terlalu familiar juga karena ia tidak bisa langsung ingat siapa manusia yang seenak jidat bisa jatuh tanpa melihat ke arah depan. Juan hanya bisa menatap bosan ke arah pria tersebut sambil menunggu adanya reaksi darinya. Setidaknya lebih baik ia dimarahi karena tidak hati-hati daripada kabur begitu saja meninggalkan pria ini sendirian.
Kenapa Juan tidak bisa langsung kabur untuk menyelamatkan pizza yang hampir dingin? Entahlah, pikirannya juga sedang kacau. Mungkin ia beranggapan kalau berdiam diri sambil menonton pria meringis jauh lebih menarik daripada langsung berjalan kaki ke rumah dan menonton televisi sendirian tanpa ada teman makan. Mengajak Samudera saja kan, tidak mungkin. Lagipula Juan memang sudah tidak mau bertemu dengan dia lagi untuk sementara waktu. Mungkin sampai ia bisa memiliki kepala dingin dan tidak memiliki perasaan untuk menghancurkan seluruh wajah Samudera dengan batu bata.
Akhirnya pria di hadapannya bangkit. Ia menepuk-nepuk celana yang dikenakan sambil sedikit menggerutu karena jatuh ketika tubuhnya sudah benar-benar lelah. Kedua matanya bertatapan dengan mata Juan, ada sesuatu yang tidak bisa Juan rasakan dengan perkataannya. Juan yakin seratus persen jika matanya membulat sempurna saat menyadari kalau pria yang menabraknya tadi bukanlah pria biasa atau bahkan calon presiden untuk tahun depan. Sosok di depannya adalah manusia tidak tahu malu yang sempat-sempatnya bergelayutan di lengan Samudera ketika Gian berada dalam masa sedihnya hingga cuti dari tempatnya bekerja.
Entah. Juan sama sekali belum pernah melihat Joshua dan Samudera bergandengan tangan di publik, tetapi berdasarkan apa yang ia dengar di depan kamar Samudera tadi, kemungkinan besar mereka berdua sudah melakukan hal yang jauh lebih tidak masuk akal. Buktinya, ekspresi wajah Joshua jauh berbeda daripada sebelumnya ketika sadar kalau di hadapannya bukan pria biasa yang membawa pizza.
Joshua tiba-tiba saja membalikkan badannya menjauh dari Juan. Namun dengan kekuatan yang Juan miliki di kakinya, ia bisa menjulurkan kaki kanannya untuk mencegah Joshua kabur dari hadapannya semudah itu. Dan sesuai dengan apa yang ia harapkan dalam hati, tubuh ringkih Joshua lagi-lagi jatuh tengkurap ke depan dengan wajah yang mendarat di salah satu sendal empuk milik penghuni kosan.
Keduanya tidak mengucapkan apa-apa. Juan hanya merasa sedikit puas melihat Joshua yang tidak bergerak sama sekali, seolah seperti sudah menembak seekor burung merpati dengan satu peluru tepat di kepalanya. Namun hatinya sedikit takut ketika melihat punggung Joshua bergerak naik turun dengan tempo yang tidak stabil. Ia buru-buru berjalan mendekati pria yang dalam hitungan detik itu akan menangis dan langsung membalikkan badannya.
Juan menatap kedua mata Joshua yang berkaca-kaca itu sambil membeku di tempat. Dugaannya benar, mungkin Joshua merasa kebingungan sekaligus sebal karena tiba-tiba muncul seorang lelaki pengangguran yang membully dirinya tanpa ada alasan yang jelas, dan tidak tahu berasal darimana. Sudah lelah terbebani pekerjaan, kini Joshua harus menerima kenyataan kalau ia harus berhadapan dengan salah satu teman dekatnya Gian.
☆
sorry for reupload !
KAMU SEDANG MEMBACA
loose steps | cheolhan
RomanceGian menyukai hidupnya sebagai single parent dari anak laki-lakinya. Pekerjaan yang stabil, akrab dengan keluarga dan rekan kerja, dan memiliki anak yang pintar sudah lebih dari apa yang ia inginkan. Namun apa yang akan terjadi jika Samudera yang ba...