5 • braga dan senin

494 63 4
                                    

"Jadi gitu toh ceritanya. Pantes udah jarang terlambat lagi ke kantor." ujar Devan.

"Iya, untung aja si mas sering bantu. Kan lumayan juga nggak usah keluar rumah." Gian tertawa, "Azkia bisa jajan banyak daripada sebelumnya."

Mereka berdua masih nongkrong di kantor mereka yang dibilang terlalu sepi (seharusnya hari ini cuti, tetapi Devan terlalu cinta kantor). Gelas plastik yang awalnya berisi es sudah meleleh, menandakan kalau mereka sudah berbicara terlalu lama. Gian sama sekali lupa kalau Samudera masih menunggunya di luar.

"Oh iya, anak lo gimana kabarnya kak?" celetuk Devan.

"Baik-baik aja kok. Lagi sibuk sama paduan suara, tiap hari makin gembul juga." ujar Gian. "Jadi kangen waktu dia masih bayi."

Devan mengangguk setuju, "dulu dia bulet bakso kak. Inget banget waktu lo nangis minta gua bantu gara-gara naskah belum selesai, ditambah Azkia nangis rewel."

"Bisa nggak sih bagian itu jangan diceritain. Malu, ngerasa nggak deket sama anak waktu lucu-lucunya."

"Kan gua lucu kak." celetuk Devan, sambil memejamkan matanya imut. "Lucu banget malah."

"Hilih. Tapi lo bukan anak gua." Gian memutar matanya, "mau disembur?"

"Dasar dukun. Udah itu kerjain dulu naskahnya, kalau ditanyain pakedi lagi gua gak mau urusin."

"Baru kali ini punya asisten kayak bos, nyuruh-nyuruh mulu."

"One of a kind lah kak," Devan berputar-putar di kursinya, "itu masnya menunggu di luar lho, nggak kasian apa."

"Astaga- lupa kalau dia nungguin." Ia berlari keluar, "see you Dev!"

"Iyaa, dadah."

Tepat di luar pintu kantor, berdirilah seorang Samudera yang sibuk memakan jeli. Terlalu fokus dengan makanannya sampai tidak sadar kalau Gian memperhatikannya dari jauh. Yang menatap berusaha keras menahan diri untuk tidak tertawa.

"Mas," Samudera menoleh ke arah Gian, "maaf ya tadi lama banget. Diajak ngobrol sama temen soalnya."

Samudera buru-buru mengelap tangannya ke celana dan mengangguk, "nggak apa-apa kok. Tadi juga sempet makan dulu di sebelah."

"Yah, padahal mau ajak makan siang." Gian pura-pura manyun. "Habis tadi rasanya aku lama banget di kantor niatnya mau makan bareng."

"Saya juga awalnya niat ajak ke cafe." Samudera keceplosan. Sial.

"Ke cafe? Makan juga mas?" Gian bingung, "Tapi kan tadi bilang udah makan?"

Samudera menaiki motornya, "Mau main aja sama kamu."

"Hah? Serius mas?" Gian melotot sambil memakai helm. "Tapi mas daritadi nungguin, emang mau kemana?"

"Udah, naik dulu bawel."

"Heheheh, kalau gitu ayo cabut."

Keduanya meluncur pergi dari kantor Gian. Lagi-lagi di perjalanan Samudera berusaha untuk tidak bertanya apa-apa karena takut kejadian tadi pagi terulang kembali. Didukung dengan lalu lintas yang lancar, Samudera berniat membawa Gian pergi ke cafe.

Cuaca hari Senin lumayan panas di Bandung. Meskipun matahari bersinar terang, tetapi angin berhembus lumayan kencang. Super adem. Gian bersyukur hari ini ia tidak memakai sweater tebal seperti biasa. Moodnya pun sedang bagus.

Motor itu membawa mereka pergi ke daerah Braga. Tempat yang ramai menjelang siang dan tidak pernah sepi meskipun malam datang. Keduanya pergi ke dalam cafe setelah memarkirkan motor. Keadaan di dalam lumayan sepi, sehingga mereka bebas memilih tempat.

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang