Sudah tiga bulan sejak Samudera pindah ke Bandung.
Maka karena itu, pagi ini Samudera sudah siap di depan gerbang kosan. Berduaan sama Langit yang jadi panitia bagian keamanan karena kebetulan yang punya kosan adalah pak RT.
Samudera berdiri dengan bangga memakai kacamata hitam (meskipun diprotes Langit), dan duduk di atas motornya sambil menyilangkan tangan. Berusaha seserius mungkin.
Beberapa ibu-ibu pkk yang melewati mereka tertawa melihat kelakuan Samudera, jauh berbeda dengan adiknya yang merasa malu karena kelakuan abangnya. Langit harus bisa menahan niat untuk kabur jika ada teman sekelasnya yang melihat. Rasanya ia menunduk terlalu lama sampai dagunya mengenai dada. Sampai tidak sadar kalau memang sedaritadi ada beberapa teman kelasnya yang lewat.
"Itu Langit bukan sih?"
"Dia itu orangnya mageran, gak mungkin ikut agustusan."
"Iya juga ya."
Hati Langit lega seketika mendengarnya.
Tetapi ia kembali merasa malu saat melihat Samudera turun dari motor dan berniat untuk membantu tetangganya parkir mobil. Karena takut, seketika Langit menarik lengan abangnya dan menyuruh untuk diam saja.
"Emangnya abang bisa?" tanya Langit. "Kenapa enggak anak-anak lain aja sih yang ganti abang buat jaga kosan? Pake kacamata item segala, kayak tukang pijet."
"Seenggaknya abang berkontribusi pada sosial. Nggak kayak Kahfi main PUBG terus tiap malem kayak orang nolep."
Langit merengut. "Alay lo ah."
"Ikut lomba sana dek." Samudera menunjuk ke arah panitia lomba yang menyiapkan kerupuk, "Daripada manyun terus nggak jelas."
"Nggak elit banget makan kerupuk?"
"Disini nggak ada lomba muncak dek, jauh kalau ada juga."
Langit merengut lagi. "Si abang tega. Adiknya udah niat malah dihancurkan semangatnya."
"Alay sia. Nanti aja daftarnya pas agak siangan," Samudera melirik arlojinya, "Bubur mau? Nanti beli ke bang Agus."
"Mantap. Gitu dong bang daritadi."
Keduanya beranjak dari kosan dan berjalan menuju rumah bang Agus sebelum keadaan semakin ramai.
Sejak tadi malam, Komplek Permata sudah dihias oleh anak-anak dari Tarang Karuna. Bendera menggantung dimana-mana, hiasan dari barang bekas tertempel di setiap ranting pohon. Suasana hari ini menjadi lebih riuh karena banyak yang berkumpul di depan rumahnya masing-masing. Belum lagi siang nanti akan ada acara pawai dan lomba menyanyi.
Di tengah lapangan dekat Samudera dan Langit yang lagi makan bubur, sudah dibangun panggung kecil untuk acara nanti. Berdirilah disana seorang Juan, mengetes setiap mic yang disediakan anak-anak Taruna.
"Bang, itu bang Juan bukan?" tanya Langit.
"Panggil coba. Tumben amat dia di tengah panggung."
"Oke bang."
"Kalau udah abis mangkoknya dita-"
"WOI!" Langit berteriak di kursinya, "BANG JUAN DAH MAKAN LOM? MAU BUBUR KAGA?"
Juan menoleh ke sumber suara dan melambaikan tangannya keras-keras. "UDAH MAKAN TADI! NUMPANG DI RUMAH GIAN!" balasnya, sambil pakai mic. "MAKAN BUBUR AJA CEMONG LO, NGIT!
"ANJIR! BIS-" belum selesai berbicara, mulut Langit sudah disuapi kerupuk oleh Samudera.
"Berisik banget lo dek."
"Duapuluh ya gan dua-duanya." ujar Agus tiba-tiba, entah darimana.
"Eh, iya." Samudera merogoh saku dan memberikan uangnya, "ikut acara agustusan juga bang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
loose steps | cheolhan
RomanceGian menyukai hidupnya sebagai single parent dari anak laki-lakinya. Pekerjaan yang stabil, akrab dengan keluarga dan rekan kerja, dan memiliki anak yang pintar sudah lebih dari apa yang ia inginkan. Namun apa yang akan terjadi jika Samudera yang ba...