48 • deskripsi dari si sinting

238 10 1
                                    

Hari baru, namun masih dengan perasaan yang sama.

Masih dengan sepasang sandal karet hitam yang tergeletak di depan pintu. Masih dengan kedua mata sedih menatap pintu kamar yang tidak akan pernah terbuka sampai kapanpun. Masih dengan rasa sakit mendalam yang mencengkram dada sebelah kirimu tanpa ampun karena kuku-kukunya mulai tumbuh.

Menjalani hari seperti biasanya memang jauh lebih menyakitkan ketika hatimu sedang terkoyak. Seperti sedang diinjak berkali-kali memakai sepatu, namun kamu harus tetap tersenyum. Mungkin ini adalah kematiannya yang diam-diam menggerayangi badannya sejak dulu. Sebuah karma dengan bentuk dua orang manusia yang memiliki paras indah.

Sepulang kerja, Samudera berdiam diri di kamarnya. Semua rutinitasnya masih terasa monoton, seperti mesin yang sudah ditentukan kematiannya. Mandi, memakan sesuatu, pergi bekerja sambil memeras diri untuk tetap tersenyum, lalu pergi pulang ke tempat tinggalnya. Kemudian berdiam diri sampai pagi hari, dan kembali melakukan hal yang sama. Pikirannya masih terjebak di dalam percakapan terakhirnya dengan Langit. Dialog berisi fakta yang merobek-robek harga dirinya hingga hancur lebur.

Terlambat? Memang. Kalau Samudera pergi ke luar kamar, rasanya di lantai pertama ada segerombolan orang yang tertawa terbahak-bahak melihat dirinya yang semakin menyedihkan. Dalam pikirannya, seperti sudah ada paparazzi yang siap bertanya semua hal yang terjadi antara dirinya dan Gian, juga Joshua. 

Namun sampai kapan Samudera akan menyalahkan dirinya terus-terusan? Mungkin nanti. Mungkin Samudera berharap kedua manusia itu akan kembali menghampirinya, mengajak dirinya untuk berdiskusi bagaimana cara untuk menyelesaikan ini semua, dan mereka bertiga akan hidup dengan sejahtera bersama-sama. Itu adalah keinginannya, dan tentu saja tidak akan pernah terjadi sampai kapanpun. Tidak akan pernah nyata meskipun Samudera menangis sampai kedua matanya merah, tidak peduli seberapa lama Samudera berlutut kepada dunia hingga kedua lututnya lecet dan terluka. Samudera benar-benar hidup di dalam khayalannya, terombang-ambing di samudera luas entah sampai kapan ia akan membuat dirinya terlena. 

Menggapai pintu kamarnya pun semakin sulit. Samudera tidak ingin makan ataupun mandi. Ia tidak ada arah hidup, tidak punya seseorang untuk bertumpu, dan tidak memiliki tujuan untuk memperbaiki hidupnya. Kesenangan hidupnya benar-benar tidak bertahan lama. Semuanya bisa dicegah. Payah. Kalimat itu tetap berlari kesana kemari dalam pikirannya tanpa berhenti.

Samudera melirik ke arah jam dinding.

Pukul sebelas malam.

Sudah empat jam lebih Samudera lebur dalam kepalanya sendiri tanpa ada niat untuk melakukan hal berguna. Badannya direntangkan seperti bintang laut di atas kasur, lalu menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya pelan. Ia berusaha untuk kembali ke kenyataan yang sudah mengetuk pintunya sejak kemarin malam.

Jempol kaki kanannya menekan tombol kipas angin, dan ia menutup mata saat angin buatan itu menyapu wajah dan badannya. Samudera baru ingat kalau ia melepas seluruh pakaiannya kecuali celana dalam sebelum tenggelam dalam pikirannya. Mungkin ini ritual barunya, karena Samudera tidak sadar melakukan itu semua.

Tapi bagian bawah badannya tertutup selimut tebal. Ia melindungi dirinya dari apapun yang akan terjadi lima menit kemudian. Karena saat ini, Samudera memutuskan untuk kembali bergerak dan merusak pikiran jeleknya sejak menelepon Langit. Ia sudah muak.

Muak.

Samudera tiba-tiba bangkit dari kasurnya dan berjalan mendekati saklar lampu, lalu kini semuanya terlihat dengan sangat jelas. Kamar yang terlihat seperti kapal pecah. Ia memunguti sampah-sampah yang berserakan, termasuk gumpalan tisu bekas yang ada di dekat kasurnya. Samudera membuang apa yang ada di depan pandangannya, tanpa berpikir apakah ia akan menggunakannya lagi atau tidak. Termasuk dengan beberapa botol minum yang isinya tinggal seperempat, deodoran yang sudah kosong entah sejak kapan, dan lima kotak susu coklat yang disimpan dimana-mana.

Ia mengernyitkan matanya. Memang seburuk ini ya perilakunya ketika tidak ada tujuan hidup? Mengerikan. Kedua matanya kembali mengernyit saat melihat tumpukan piring kotor dan gelas yang sudah mengering.

Samudera menghela nafas. Malam ini ia sudah siap untuk menerima omelan atau teguran karena kegiatan bersih-bersihnya yang mendadak. Tidak, Samudera menerima semuanya. Baik itu teguran, tamparan, yang penting dia bisa sadar dari kondisinya sekarang. 


Lagi-lagi, Samudera menghela nafas.

Ia tidak mampu berjalan menuruni tangga lagi untuk membuang sampah kesekian kalinya. Tangannya berpegangan erat ke teralis dengan nafas yang terengah-engah. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu malam, namun Samudera belum menunjukkan wajah mengantuk. Pikiran dan batinnya benar-benar bergerak dengan sangat liar.

Samudera menaiki tangga perlahan-lahan. Situasi yang sudah sangat sepi membuatnya terpaksa harus menyadari keadaan kosan kalau sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menyalakan vacuum cleaner dan menyedot seisi lantai. Hey, setidaknya sekarang Samudera bisa melihat lantai keramik putih dan menemukan pakaian yang ia cari-cari setelah lama terpendam di lantai.

Kini Samudera merebahkan badannya di atas kasur dengan sprei yang sudah bersih. Kipas angin yang masih bergerak memutar sejak awal ia membersihkan kamar membuat udara kamar jauh lebih nyaman untuk dihirup daripada sebelumnya. Angin malam yang ikut berhembus dari jendela juga semakin membuat kamarnya terasa dingin dan sejuk tidak jelas. Dalam hati ia berharap angin ini dapat membantu membuat isi kepalanya semakin bersih dari segala kotoran apapun yang ada di dalamnya. 

Mungkin tidak sepenuhnya bersih. Ia masih ingin memiliki kenangan manis tentang dua pria yang pernah ada di dalam hidupnya. Samudera masih belum bisa memilih apa yang bisa menjadi cerita akhir dalam episode hidupnya kalau ia belum tahu apa yang harus dilakukan sekarang. 

Meminta maaf, mungkin. Tapi Samudera sendiri tahu itu bukanlah hal yang mudah. Ia justru sempat berpikir bahwa meminta maaf akan jauh lebih mudah kalau saat ini juga ia lompat dari teralis. Namun itu tidak akan membantu apa-apa kecuali semakin memperkeruh situasi dan membuat semuanya sedih. Sehingga yang bisa Samudera lakukan sekarang hanya menutup wajahnya dengan bantal dan mengerang sekuat mungkin.

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang