32 • abide

270 37 7
                                    

Pada suatu hari yang tenang di bulan September, ada seorang ayah single dan muda yang sedang rebahan menonton Waffles + Mochi sambil memakan kacang-kacangan.

Siapa? Siapa lagi kalau bukan Gian yang sudah pulang dari kantor sejak dua jam lalu. Masih mengenakan pakaian kantor acak-acakan dengan wajah yang belum dibersihkan, ia hanya haha hehe menonton Waffles yang menaiki pesawat.

Kali ini Gian pulang sendirian menaiki mobil karena Samudera sedang mengikuti turnamen futsal komplek dengan Juan. Awalnya Samudera menawarkan diri untuk menjemput Gian, tetapi Gian menolaknya karena ia tidak mau dijemput dengan keadaan Samudera basah oleh keringat. Memang kadang terlihat keren, tetapi nanti bau keringatnya malah ikut menempel di badan Gian.

Mungkin sekarang Samudera sudah tergeletak tidur terlalu nyenyak karena kecapekan di atas kasurnya.

Suasana rumah sepi seperti biasa. Gian malas memasak untuk malam ini, jadi nanti ia sudah berniat untuk memasak mie rebus dengan telur dua. Azkia sedari tadi berada di dalam kamar sambil melakukan sesuatu yang hanya ia dan Tuhan yang paham, terdengar sayup-sayup suara podcast dan suara kertas yang tergunting-gunting.

Gian mematikan TV dengan spontan. Ia menghela nafas panjang sambil mengusak rambutnya yang lumayan panjang. Pikiran Gian mulai menyortir hal apa yang akan dia lakukan terlebih dahulu sebelum tidur dan bangun pagi untuk bekerja lagi. Karena besok hari Jumat, Gian sudah dipastikan akan pulang lebih cepat daripada biasanya.

Pintu kamar terbuka, dan seorang Azkia keluar dari kamarnya. Ia mengenakan piyama yang dibelikan oleh Gian sejak lima tahun yang lalu dan ternyata masih muat sampai sekarang. Gian menoleh ke arah anaknya, langsung membuat mental note untuk mengajak Azkia berbelanja pakaian. Mungkin besok setelah Gian pulang dari kerja, itu juga kalau Gian tidak sedang diterpa kemalasan.

"Ayah."

"Iya?"

Anak laki-lakinya yang sudah memasuki kelas akhir itu tiba-tiba saja menghampiri sambil menghela nafas super panjang. Gian yang awalnya sedang rebahan di atas sofa seketika langsung mengubah posisinya untuk duduk. Jika Azkia tidak menyapanya dengan pelukan erat di leher, tandanya ia akan berbicara serius mengenai topik yang tidak akan bisa Gian tebak.

Azkia duduk di sebelah Gian dan langsung memeluknya dari samping. Tidak berbicara sepatah kata, hanya diam menatap meja dengan tangan memeluk Gian erat. Gian menepuk-nepuk pundak Azkia, berusaha untuk menenangkan anaknya padahal detak jantung dirinya sendiri perlahan sudah naik.

"Azkia kenapa? Ada sesuatu yang mau dibicarain sama ayah? Kok murung kayak gitu?" tanya Gian dengan waswas. Yang ditanya menganggukkan kepalanya pelan sambil menyembunyikan wajahnya di bahu Gian.

"Tapi aku enggak mau ayah marah kalau aku tanya ini, cuma aku enggak tau lagi gimana bilangnya ke ayah." ujar Azkia.

Gian mulai menghitung pelan-pelan dalam hati, menunggu bom pertanyaan yang akan dijatuhkan oleh Azkia tepat di hadapannya. Ia sendiri tidak tahu kenapa situasi kali ini terasa lebih berat daripada saat Gian ketahuan membawa alkohol ke sekolah saat SMA. Mungkin itu akan menjadi cerita nanti, tetapi Gian masih merasa panik.

"Aku enggak sengaja nemu foto ini di album foto bayi.." Azkia menyerahkan selembar foto, "ayah kenal enggak kalau ini siapa?"

Ketika Gian melihat siapa yang ada di dalam foto tersebut, ia hanya diam. Sama sekali tidak tahu harus mengatakan apa kepada anaknya yang sama-sama diam kebingungan. Gian memang sudah menyangka kalau hal seperti ini akan terjadi, tetapi ia tidak siap untuk menjelaskannya hari ini. Bahkan rencana tadi yang sudah Gian susun menjadi buyar begitu saja.

Pria itu menghela nafas panjang sambil mengusap wajahnya kasar. Ia menepuk-nepuk bahu Azkia dan beranjak dari sofa, "ayah jelasinnya nanti ya? Habis ayah mandi, nanti ayah dateng ke kamar kamu."

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang