18 • kembali

322 48 5
                                    

Perjalanan menuju rumah Ami bisa dibilang lumayan jauh. Gian hanya tertawa melihat anaknya yang banyak tingkah di dalam mobil, mulai dari videocall tidak jelas dengan temannya hingga memakan bekal yang disiapkan dari rumah. Tidak jarang Azkia berusaha menyuapi Gian beberapa snack dari kursi belakang.

Jika mereka berangkat pada jam enam pagi, berarti sudah empat jam berlalu sejak mereka pergi dari rumah. Tandanya mereka akan sampai sebentar lagi. Gian sudah berpesan kepada Devan untuk house-sitting selama empat hari, dan Devan menyetujuinya karena ia rindu dengan rumah tersebut.

Azkia menghela nafas panjang ketika sadar rotinya sudah habis begitu saja. Padahal tadi masih ada beberapa bagian yang utuh, dan sekarang hilang tiba-tiba. Entah kemana roti itu pergi, tetapi ia bisa melihat remahannya di baju.

Hm.

"Ayaaaah."

"Kenapa nak?"

"Aku laper," Azkia mencolek pundak ayahnya, "tadi makanannya ditaro di tas yang mana?"

"Di tas yang warna biru. Tapi sebentar lagi mau nyampe kok." ujar Gian. "Jangan makan banyak-banyak, nanti mual kamu."

Azkia hanya merengut kesal. Ia kembali melihat jalanan yang lumayan ramai dan padat, mengingat kalau ini sudah menjelang akhir tahun. Banyak mobil berlalu-lalang dengan suara klakson yang sangat berisik.

"Kenapa rumah Ami jauh banget ya ayah."

"Soalnya dia hobinya berkebun," perlahan-lahan Gian memutar setir, "dia juga enggak suka tempat yang berisik."

"Sama dong kayak ayah." ujar Azkia sambil menahan tawa.

"Eh? Ayah kenapa emangnya?"

"Enggak suka berisik tapi di rumah berisik banget, apalagi kalau lagi gibah."

Gian mendengus, "kayak kamu enggak aja ah. Tiap videocall sama temen pasti kedengeran sampai ke kamar ayah."

"Ih ayah gitu banget sama anaknya, TEGA." Azkia semakin merengut.

"Kamu juga tega sama ayah, TEGA." ujar Gian tidak kalah dramatis.

Keduanya berakhir tertawa lebar tidak jelas.

"Kapan nyampenya sih ayah?" tanya Azkia. "Lama banget serius, ayah mau anak ayah jadi tepos?"

"Kamu kan emang tepos." ujar Gian dengan wajah yang sangat datar.

"Bukan itu maksud- udah deh. Susah bicara sama ayahku yang beautiful ini."

"Heh," Gian tiba-tiba saja tertawa, "bisa aja kamu bilang kayak gitu. Ayah jadi terharu nih"

"Kira-kira kak Devan nyaman enggak ya di rumah kita? Secara dia kan baru pertama kali nginep rumah yang itu." Azkia menguap lebar.

"Bisa lah, secara dia kan orangnya emang mudah beradaptasi sama sekeliling dia." Gian seketika teringat dengan niat yang akan dilakukan Devan, "paling dia main game di laptop. Atau mungkin masak. Ya pasti bakal masih selamat juga."

Azkia hanya mengangguk setuju, padahal ia tidak paham ayahnya berbicara apa.

Gian mulai memutar setirnya sambil perlahan masuk ke dalam teras rumah yang menjadi tempatnya tinggal dulu. Tidak ada perubahan yang drastis, semuanya persis seperti saat ia masih menjadi anak remaja yang labil soal nama display di Facebook. Gian benar-benar merindukan rumah lamanya ini.

Keduanya langsung menuruni mobil dan mengambil barang-barangnya dari bagasi. Gian menghela nafas panjang (kebiasaannya sejak dahulu supaya tidak grogi) sebelum membuka pintu utama yang langsung mengarah ke ruang tamu (ia sudah mengira semuanya berkumpul disini.) dan bertemu dengan anggota keluarga yang lain.

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang