Kadang pindah rumah bisa jadi ribet banget meskipun yang tinggal di rumah hanya dua orang. Rasanya waktu berjalan lambat kalau dipakai buat hal-hal besar. Contohnya, beres-beres buat pindah rumah. Apalagi kalau dua orang itu punya barang terlalu banyak.
Sebut aja Gian dan anaknya, Azkia. Mau bagaimana lagi, kadang pindah rumah ini menjadi pilihan bagus daripada harus ngalamin macet hampir setiap pagi. Belum lagi kalau habis bensin atau Azkia telat bangun sampai harus diantar pergi.
Capek.
Sejak jam sepuluh pagi sampai sekarang, tumpukan baju milik Gian dan Azkia sama sekali nggak berkurang. Belum lagi sepatu, tas, dan barang-barang lainnya. Antara Gian yang memang lambat atau barang miliknya yang terlalu kebanyakan. Untung saja beberapa berkas penting milik Azkia dan Gian sudah terlebih dulu masuk ke dalam kardus.
Keadaan rumah yang sekarang sepi membuat Gian agak heran. Seperti ada sesuatu yang janggal. Biasanya jam tiga sore begini sudah mulai masak sambil nonton acara ftv, ditemani suara Azkia lagi warming vocal buat ekskul padusnya di ruang tamu.
Azkia.
Azkia dimana?
Ya ampun, Azkia ternyata belum dijemput.
Buru-buru Gian beranjak dari sofa dan mengambil kunci mobil. Teringat jelas wajah Azkia nanti saat ia mulai mengomel tentang Gian lupa menjemput, berakhir dengan cemberut semalaman. Hampir saja lupa kalau dirinya sendiri masih menggunakan sendal rumah.
Tetapi langkah Gian menuju pintu gerbang terhenti saat melihat sosok berdiri sembari mengunci pintu.
Azkia berdiri di sana, memakai helm bogo warna hitam gelap yang sama sekali belum pernah dilihat. Ia tertawa melihat Gian kelabakan memakai cardigan dan pakaian tidur.
"Ayah kenapa di luar?" dia melepas helmnya, "Tadi naik ojek. Lupa kasih tahu kalau padus tadi latihan."
"Kirain adek bakal marah kalau ayah lupa jemput lagi."
"Ya enggak lah! Aku udah besar." Azkia merangkul bahu dan berjalan ke dalam rumah. "Nanti juga aku yang jemput ayah."
Mendengar perkataannya, Gian tertawa. "Naik apa kalau kamu jemput ayah? Motor aja belum berani kamu."
Yang ditanya hanya cemberut, "Aku sambil nunggu adik kelas kan pinjem motornya Natasya. Terus kita motor-motoran di parkiran."
Gian terkekeh mendengar jawabannya. "Kamu naik ojek yang di pertigaan itu kan? Besok-besok telepon mas Juan dulu dong."
"Aku tadi dianter sama mas yang baru. Soalnya bang Juan lagi sibuk anter galon, yah." ujar Azkia yang duduk di sebelah Gian.
"Mas?"
"Tau kan? Yang katanya pindahan dari Subang. Mas-mas yang rambutnya item trus pake motor Vario."
'Orang Subang? Pindah ke sini mau jadi tukang ojek aja? Mencurigakan.' pikir Gian
"Kamu yakin itu tukang ojek? Takutnya itu malah tetangga yang kemarin katanya pindah lho, dek. Mana ke sebelah rumah kita kan. Bisa-bisa nanti jadi buah bibir."
Azkia merengut mendengarnya, "ayah, bisa aja kan dia yang baru pindah terus mau merintis karir jadi kang ojek? Masa gitu aja diributkan. Nanti tetangga telinganya gatel. Kalau ayah dianggap jadi tukang gibah di komplek gimana? Adek gak mau dikasih bakat gibah juga ah."
"Iya iya, gak bahas itu lagi." Gian menunjuk ke arah tumpukan baju, "mending bantu ayah beres-beres aja. Barang kamu ini lho banyak banget."
Seketika saja Azkia berdiri dan lari ke arah kamarnya.
"Adek! Jangan kabur kamu ya!"
"Besok lagi aja, yah! Kan hari Minggu!"
"Yaudah, besok ayah tagih janji kamu yang itu."
"Iya ayah," Azkia tertawa terbahak-bahak. "Kalau inget!"
Gian yang menggelengkan kepalanya jadi terhenti saat melihat ponselnya berbunyi.
'juan anak tetangga' is calling...
'tumben anak kuda ini telepon?' Gian menggeser tombol hijaunya.
"Halo?"
"Halo brou, besok jadi pindahannya?"
"Eh," Gian menaruh ponsel di bahu, "Iya jadi. Kayaknya besok siang pergi."
"Wah mantap. Mau dibantu sama anak ojek yang baru soalnya."
"Siapa Ju?"
Juan tertawa dari arah sana, "Bang Samudera. Yang tadi anter anakmu pulang itu lho. Paling nanti ketemu lagi besok lu berdua." Seketika saja logatnya muncul ke permukaan. "Anaknya baik kok, Cuma tadi dia jemput adeknya dulu."
"Yaudah. Mau sekalian makan disini nggak?"
"Boleh lah, asal gratis. Nanti Bang Samudera ikut. Gapapa kali ya?"
"Namanya Samudera aja, atau masih ada kepanjangannya?"
Gian mendengar suara Juan yang bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.
"Namanya Samudera. Kalau nama adeknya, Langit. Baru pindah dari Subang kan dia."
"Ooh," secara reflek Gian mengangguk, "Tadi adek juga bilang gitu ke aku. Makanya aku bingung Samudera ini siapa. Takutnya dia naik motor tetangga lagi. Aku kan yang malu."
"Lho bisa malu juga?" Juan tertawa keras, "perasaan lo it-"
"Heh! Kok malah jadi gibah sih? Aku mau lanjut beres-beres lagi ini."
"Malah ngeles lagi ini. Besok aku telepon lagi ya, jangan lupa jawab."
"Iya iya. Kalau inget."
"Dadah juragan."
Dan panggilan pun berhenti.
✧*。
first work in 2020 !
KAMU SEDANG MEMBACA
loose steps | cheolhan
RomanceGian menyukai hidupnya sebagai single parent dari anak laki-lakinya. Pekerjaan yang stabil, akrab dengan keluarga dan rekan kerja, dan memiliki anak yang pintar sudah lebih dari apa yang ia inginkan. Namun apa yang akan terjadi jika Samudera yang ba...