2 • ketemu

1K 105 1
                                    

Jam sepuluh pagi mereka semua kumpul di depan rumah barunya Gian. Ada Juan yang masih angkut-angkut barang, Azkia kipasan sambil duduk di teras, dan Gian yang baru sampai dari supermarket. Mereka terlihat basah kuyup dengan keringat karena hari ini benar-benar ekstra panas daripada hari sebelumnya.

"Gian!" teriak Juan dengan semangat.

"Ya? Kenapa teriak-teriak?'

"Di dalem ada Bang Samudera, nanti lo sekalian minta bantu pasang gas ya!"

"Kirain udah sama Juan?" ujar Gian keheranan.

"Mas Juan letoy, yah" celetuk Azkia, "tadi dia angkat meja aja sampai pinggang dia bunyi."

"Ini anak satu minta dipukul ya sekata-kata?"

"Gak boleh ada kekerasan! Aku masih anak SMA."

Gian berjalan ke arah dapur, dan hampir terkena stroke melihat ada anak laki-laki yang duduk di lantai. Tangannya memegang erat plastik belanja, hampir saja jatuh karena kaget tadi. Seketika muncul seorang pria yang mengangkut kursi kerjanya dari dalam toilet.

"Anjing bangsat."

Kaget lagi. Hampir aja malah ngomong kasar terlalu panjang. Kalau nggak ada anak ini, mungkin satu kebun binatang bisa aja Gian absen dari huruf A sampai Z.

"Eh, Gian?" ujar seseorang dari arah toilet. Oh, itu Samudera. Ia menaruh kursi (kenapa bisa ada kursi di toilet?) dan berjalan mendekati Gian, tangannya terulur mengajak bersalaman. Langsung saja Gian pegang tanpa menyadari kalau ia masih membawa plastik.

"Iya, saya Gian. Samudera kan?"

"Betul. Maaf kalau adek saya ngagetin tadi, dia memang suka muncul seenaknya."

"Nggak apa-apa, santai." Gian menaruh plastik di atas konter, "Mau ikut makan siang disini? Saya nggak enak soalnya jadi mas yang beres-beres rumah saya,"

Samudera mengangguk, "Boleh. Panggil aja Samudera."

"Hah? Siapa yang Samudera?"

"Saya, Gian. Kalau anak itu namanya Langit." Samudera tertawa kecil melihatnya.

"Eh," Gian menunduk, "lagi nggak fokus. Maaf mas. Kirain nama panggilan anaknya yang Samudera.

"Pikun banget lo." Juan datang-datang malah nyerocos. "Kemarin perasaan udah gue jelasin."

"Berisik lah beruk. Gak kebagian makan kamu kalau banyak banyol."

Samudera ketawa lagi. "Kalian ini memang hobi berantem atau gimana ya? Saya lihat dari kemarin Juan nggak pernah berhenti ngomel."

"Eh?" Gian menoleh ke arah Juan yang kabur ke luar rumah, "ngomel tentang apa kamu?"

"Gak tau aku!" teriaknya. "Gak kedengeran."

"Terus kenapa bisa nyaut?"

"Kebetulan aja itu lah! Jangan denger kata-katanya bang Samudera."

Tiba-tiba Langit berdiri, "Laper." Dia bilang sambil bete.

"Eh iya, sebentar ya." Gian langsung mengambil peralatan masak, "jadi lupa buat masak gini akibat kebanyakan ngomong."

Saat dirinya mulai masak, keadaan dalam rumah menjadi hening. Sesekali terdengar teriakan Azkia (yang mungkin diganggu Juan) dari arah luar rumah. Langit dan Samudera sibuk menata sofa dan barang-barang yang masih tersisa, sementara ia masih memasak semur.

"Asalnya dari mana mas?" tanya Gian, berusaha untuk mencairkan suasana.

Yang ditanya hanya menoleh sekilas, "Saya dari Subang. Pindah ke Bandung sekalian Langit pindah sekolah juga, terus ikut kerja sama si Juan."

"Oh? Kalau Langit, satu sekolah sama Azkia nggak?"

Samudera mulai memasang sekrup, "Langit sekarang kelas tiga SMP. Tapi satu yayasan sama Azkia kok. Soalnya itu paling deket sama tempat tinggal saya."

"Saya jadi inget, makasih mas kemarin sudah jemput anak saya. Soalnya saya sibuk beresin rumah buat pindahan, tau-taunya hari ini saya dibantu lagi sama mas Samudera"

"Nggak apa-apa, lagian kemarin saya lagi nggak ada kerjaan juga."

Gian mengangguk, lalu kembali sibuk dalam memasak.

Keadaan menjadi sunyi lagi. Sial.

Setelah masakan matang, ia bawa ke meja. Diajaknya mas Samudera dan Langit yang masih membenarkan pintu rumah, tetapi mereka dengan spontan menggeleng. 'Duluan saja,' gumam Samudera. 'Nanti saya nyusul.'

Baiklah. 

Justru Gian merasa takut kalau Juan makan habis semuanya.

Disana meja makan sudah ada dua orang yang sedang ribut juga satu anak yang sibuk membaca buku. Ketiga orang itu sibuk dalam dunianya sendiri tanpa sadar kalau ada yang membawa makanan. Gian menaruh piring dan duduk dekat Azkia, dan masih bingung melihat mereka yang sibuk.

"Ini kalian mau makan apa nggak?"

"Dimakan kak," Langit beranjak dari kursinya, "Mau cuci tangan dulu tapi."

Gian mengangguk. Berbeda dengan anak yang baru dilihatnya hari ini, Juan dan Azkia sudah terlebih dahulu makan tanpa ada persiapan apa-apa. Mereka yang awalnya sibuk adu mulut, sekarang sibuk makan cepat-cepat.

"Kalian ini mau keselek?"

"Nggak yah. Tapi mas Juan mukanya nyolot banget, aku kesel."

"Heh! Sembarangan aja." Juan mencubit pipi Azkia keras-keras.

Samudera tiba-tiba saja duduk di sebelah Juan, lalu mengambil piring untuk ikut makan. Semuanya sibuk dengan piring masing-masing sampai Gian berdeham.

"Makasih banget buat Juan, mas Samudera sama Langit udah bantu saya pindah rumah." Ia tertawa, "Kalau saya sendirian beres-beres pindahan kayaknya nggak bakalan selesai dalam sehari aja."

"Sama-sama lah, tenang aja nanti dibantu gua sama bang Samudera lagi kalau ada perlu. Tinggal masak aja. Biar ludes kayak sekarang." Ujar Juan.

"Perut karet lo," Samudera cekikikan, "kata Juan bener, santai aja. Lagian kita ini temen baik. Kalau mau diantar ke supermarket juga bisa."

Gian tersenyum lebar. "Siap mas."

Mungkin kalau dulu Gian pernah terpaksa pindah rumah, sekarang ia justru merasa sangat bersyukur.

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang