Azkia paham betul kalau ayahnya sekarang sedang tidak baik-baik saja sejak kejadian tadi siang. Hingga waktunya makan malam pun, Gian tidak terlalu banyak bicara.
Sementara si pelaku, Alya dan keluarganya sudah pulang terlebih dahulu karena ada kepentingan. Azkia pun sedari tadi berusaha untuk berbaur sambil duduk di sebelah ayahnya, memegang erat tangannya tanpa ada niat untuk melepaskan.
Gian memakan makanannya dalam diam, hanya tersenyum dan tertawa jika diperlukan. Ia mengerti jika Abah dan Ami masih merasa canggung akibat komentar tidak berbobot yang dikeluarkan saudaranya tadi, tetapi Gian berusaha untuk menganggapnya tidak pernah terjadi. Azkia tentu saja tidak terlalu senang melihatnya, apalagi ini kali pertama ia melihat ayahnya menjadi pendiam.
Maksudnya, menjadi sangat sangat sangat pendiam.
Gigi Azkia gemeretak menahan emosi yang sedaritadi siang mulai menumpuk. Pikirannya mulai merencanakan hal untuk membalas dendam. Perlahan-lahan ia mencoba untuk mengatur nafasnya karena ingat jika Gian mudah sekali menebak pikirannya. Tetapi tangannya masih menggenggam erat sendok.
"Gilang, kenapa nak?" Ami keheranan melihat tingkah laku cucunya.
Yang ditanya hanya menggelengkan kepala.
"Enggak apa-apa kok." ujar Azkia.
Pasangan ayah dan anak tersebut diam tidak berkutik selama makan malam, bahkan hingga menjelang acara tengah malam, dimana mereka akan mengadakan BBQ. Gian izin pergi tidur terlebih dahulu dengan alasan 'lelah menyetir mobil berjam-jam', dan beberapa anggota keluarga hanya mengiyakan.
Daripada ia diam dan menjadi beban, Azkia memutuskan untuk pergi mengikuti Ami. Disana ia bertemu dengn beberapa kerabat yang belum pernah ia temui. Azkia berkenalan dan merespon pertanyaan-pertanyaan mereka untuk beberapa menit, dan berniat kabur ke dapur untuk membantu tantenya.
Azkia membantu Jenika dalam memasang peralatan untuk membakar juga memasangkan tusuk ke jagung. Keduanya tidak mengucapkan sepatah kata apapun, dan itu membuat Jenika lumayan merasa gemas. Keponakannya benar-benar mirip sekali dengan adiknya. Sama sekali tidak mau mengaku jika sedang merasa kesal.
"Gilang gimana kabarnya? Sehat-sehat aja kan ya sama ayah?" tanya Jenika memecah hening.
"Sehat aja kok tante," Azkia mengangguk. "Seneng akhir tahun sekarang ikut ke acara keluarga ayah."
"Oh iya ya, tahun kemarin kan kamu sakit tipes ya?"
Lagi-lagi Azkia hanya mengangguk setuju. Jenika semakin bertambah kesal, tetapi ia berusaha untuk menahannya. Karena jika ia gegabah, bisa saja besok pagi Gian dan anaknya malah izin untuk pulang dengan beribu-ribu alasan yang masuk akal.
"Tante boleh tanya ke kamu enggak?"
"Boleh kok."
Jenika menahan dirinya, berusaha untuk berpikir dua kali sebelum ia menyesal. Tetapi kapan lagi Jenika akan mendapatkan jawaban yang semoga saja akan membuatnya jauh lebih lega daripada sebelumnya? Lebih baik ia menyesal dengan rasa sedikit satisfied.
"Gilang ngelarang ayah enggak, kalau misalnya ayah ada niat buat ada hubungan sama orang lain gitu?" tanya Jenika.
Pertanyaan itu awalnya membuat dahi Azkia mengernyit sedikit. Ia agak merasa heran mengapa Jenika menanyakan sesuatu yang bukan urusannya.
"Aku sih... enggak apa-apa. Selama ayah seneng aja sama pilihannya, yaudah aku ikut gimana ayah." ujar Azkia sejujur mungkin. Meskipun ia masih merasa aneh di dalam hatinya.
"Tapi Gilang nyaman tinggal berdua aja sama ayah?"
Jenika dapat merasakan jantungnya mulai bergetar. Seolah akan berubah menjadi rapuh dan remuk begitu saja saat melihat Azkia semakin mengernyitkan dahinya. Dalam hati ia berdoa untuk jawaban yang lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
loose steps | cheolhan
RomanceGian menyukai hidupnya sebagai single parent dari anak laki-lakinya. Pekerjaan yang stabil, akrab dengan keluarga dan rekan kerja, dan memiliki anak yang pintar sudah lebih dari apa yang ia inginkan. Namun apa yang akan terjadi jika Samudera yang ba...