9 • asisten

379 50 1
                                    

Saat Gian membuka pintu kantor, Devan sudah duduk manis dalam kubiknya sambil menyesap kopi panas. Matanya terarah pada tumpukan dokumen-dokumen dengan manja tiduran di atas desk milik Gian. Alamat tidak akan pulang cepat lagi hari ini.

"Pakedi dengan baik hati gosend dokumen kak. Asupan buat kita, deadline nanti Senin besok."

"Buset," Gian mengecek satu-satu amplop besar itu, "banyak banget. Emang gak ada takutnya ya dia kirim dokumen pake ojek?"

"Bos kita kan pemberani kak." Devan tertawa, "Inget waktu kita translate buku-buku Malibu nggak? Pakedi bilang bakal lapor aja ke kantor polisi kalau naskah hilang."

Gian duduk di kursi dan mulai menyalakan komputernya. "Padahal kita ngerjain pake niat yang tulus ya."

"Iya, gua juga masih nggak ngerti aja kenapa dikasih tempat ini jadi kantor. Sampai hafal ada berapa driver yang nyasar ke sini gara-gara dikira cafe."

"Tapi mending gini daripada dibawa ke rumah sih, soalnya ngerasa sepi di rumah. Soalnya gak kaku amat ini tempat. Beda sama cabang yang dulu."

"Betul. Di rumah juga keadaannya lagi nggak enak kak." Devan menghela nafas berat, "hidup lagi nggak berpihak ke gua."

Gian menyipitkan matanya ke arah Devan dengan curiga. Asistennya yang satu ini memang tidak sering terbuka dalam kehidupannya, tetapi kali ini Gian harus mendengar sesuatu karena Devan bersifat aneh. Setidaknya dua kalimat juga cukup.

"Gimana kabar sama tunangan?"

"Nggak tau kak." Devan berusaha mengganti topik, "tapi kemarin dia pergi ke Sulawesi buat kerjaannya. Paling mau ketemu simpenan lagi."

"Anjir? Beneran dia punya simpenan?" Tanya Gian. Matanya melotot.

"Gatau. Dia kan muka-muka fakboi yang suka nangkring, ya pasti punya lah." Devan terkikik. "Minimal tiga."

"Jangan beranggapan yang nggak dulu deh, gitu-gitu juga nanti hidup bareng sama lo."

Devan mendengus, "gua mau sibuk kerja meskipun hidup sendirian. Masalahnya gua gak bisa nolak permintaan mama buat hal tunangan ini doang."

Gian terdiam mendengar penjelasan panjang tersebut. Sepertinya masalah tentang hal ini akan menjadi semakin sensitif, mengingat mama Devan yang begitu rajin menanyakan kapan anaknya akan menikah. Bahkan ia pernah mendengar pembicaraan mereka antar telepon yang sengit, membuat Devan menginap selama seminggu di rumah Gian.

Seketika muncul ide bagus dari kepala Gian.

"Mau nginep lagi di rumah gua nggak?"

Devan menoleh ke arah Gian, "boleh kak?"

"Boleh dong. Sekalian lihat rumah baru, kan lo belum pernah dateng ke rumah." ujar Gian sambil tertawa, "cabut sekarang aja yuk? Mumpung masih pagi."

"Daritadi dong kak, semangat lagi kan gua."

Gian dan Devan segera membereskan barang-barang mereka, mematikan lampu dan berusaha untuk menyapu ruangan secepat kilat. Hari ini Gian tidak diantar dengan Samu karena ia harus bekerja, maka Gian pergi dengan mobilnya sendiri sambil mengantar Azkia ke sekolah. Devan mengunci pintu kantor dan mereka berjalan mengendap-endap pergi menuju mobil milik Gian.

Keduanya duduk manis di dalam mobil, Gian bergelut dengan kunci dan tas sementara Devan sibuk mengatur playlist lagu dari ponselnya. Setelah itu, mereka meluncur pergi menuju rumah Gian. Merasa sangat bersyukur karena jalanan hari ini tidak begitu padat, berbeda dengan keadaan jalanan tadi pagi yang ricuh.

"Lagu apa?" tanya Devan.

"Bebas."

"Oh, oke."

Tiba-tiba saja The Carters muncul dari speaker.

Gian melotot saat mendengar volume lagunya yang begitu keras. Awalnya ia ingin protes, tentu saja. Tetapi mengingat keadaan Devan sedang tidak bagus, Gian memilih untuk diam sambil mendengarkan asistennya berteriak-teriak di dalam mobil. Lagipula telinganya sudah terbiasa dengar Azkia yang sering berteriak di rumah.

Gian jadi rindu anaknya.

"HAVE YOU EVER SEEN THE CROWD GOIN' APESHIT?" Jerit Devan.

"Ya ampun nak." Gian tertawa, "segitunya kesel sama orang itu?"

"Dendam gua kak. Dendam kesumat!"

"Emangnya dia kenapa?"

"Cuma nafas aja sih, tapi kesel liatnya."

Gian menepuk-nepuk bahu asisten kesayangannya. Meskipun anak ini terkadang menyebalkan sampai Gian ingit mengigitnya, ia masih sangat sayang pada Devan. Seperti kakak dadakan untuk Azkia.

"Masa lalu lo masih menghantui ya?" tanya Gian. Devan hanya menunduk sambil memainkan jarinya yang tiba-tiba lebih menarik daripada soon-to-be-ceramah dari Gian.

"Dev, gua ngobrol ke lo ya. Bukan ke dashboard."

"Iyaaa. Gua masih takut dibohongin terus ditinggal nikah lagi kak." Devan merengut. "Makanya biar lupa, gua giat ngerjain tugas ini itu sampai mabok."

"Semuanya bakal baik-baik aja. Meskipun masa lalu kita jelek banget, kedepannya bakal ada rencana baik buat kita sendiri. Selama kita mau usaha aja kok."

"Tapi gimana biar kita tau kalau pilihan kita baik sih? Gua gak mau kedepannya jadi hancur."

Gian tertawa. "Ya ditunggu lah. Kalau sehabis kita milih keputusan terus gak ada kita dari masa depan yang bilang, 'woi itu bahaya!' tandanya berarti masih oke-oke aja."

"Anjing."

"Gak boleh kasar! Diajarin siapa kamu!"

Devan berusaha mencekik Gian, "bikin darah tinggi banget lo kakak!"

"Lepasin! Gua hampir mau nabrak nenek-nenek, tolol!"

Keduanya mungkin tidak akan damai hari ini.

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang