37 • petir

241 26 6
                                    

"Kak Devan," Azkia menoleh ke arah pria berkacamata tersebut, "seandainya aku enggak pernah ada di dunia ini, ayah bakal hidup bahagia enggak ya?"

Kaki Devan hampir saja menginjak rem mendadak setelah mendengar pertanyaan Azkia tanpa aba-aba. Ia membenarkan posisi kacamatanya dengan telunjuk sambil berusaha memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan menjebak itu. Jika tidak hati-hati, fokusnya akan buyar dan ia bisa saja menabrak pohon. Gian pasti tidak ingin rekan kerjanya dan anak tunggalnya tewas begitu saja, kan?

Gian meminta Devan untuk segera mengantarkan Azkia pulang malam-malam secara mendadak, dimana anak tersebut memiliki keinginan sebaliknya. Ia tidak mau pulang karena tidak mau melihat wajah Gian untuk sementara karena Azkia merasa tidak enak bertemu dengan ayahnya sendiri. Bahkan saat Azkia mengangkat telepon dari Gian tadi, suaranya terdengar lumayan serak seperti habis menangis.

Hal ini membuat anak laki-laki itu merasa sangat bersalah, sebab Azkia kini sudah besar dan sadar akan beberapa hal. Satu, Azkia hanya memiliki seorang ayah saja sejak ia masih bayi. Dua, kini ia sudah berada di kelas akhir dan pastinya akan pergi kuliah. Tiga, Samudera memiliki sebuah perasaan yang kuat kepada Gian dan Azkia yakin itu tidak akan berjalan dengan baik untuk keduanya.

Persetan dengan sebutan anak durhaka, Azkia seketika ingin menjauhkan ayahnya dari pria yang tidak jelas darimana asalnya itu. Setelah selama ini melihat Gian dekat dengan pria tersebut, kini sudah saatnya Azkia turun tangan. Meskipun Langit adalah sosok teman yang baik padanya, sama sekali tidak menjamin Samudera juga sama baik dengannya. Lambat laun Azkia melihat Gian selalu merenung dan berpikir entah tentang apa. Jika bukan tentangnya, pasti tentang Samudera.

Selama Azkia menginap di rumah Devan, hatinya penuh dengan rasa bersalah. Sekuat apapun Devan berusaha untuk menghiburnya, Azkia kadang-kadang merasa terbebani karena ia juga sering melihat Devan sedang menghibur ayahnya juga lewat telepon malam-malam. Entah apa yang terjadi di rumah, Azkia merasa yakin seratus persen jika sesuatu yang buruk sudah terjadi. 

Kasihan Devan. Ia sama sekali tidak dibayar untuk menjadi terapis mendadak bagi ayah dan anak ini, ditambah hidupnya sendiri masih ada beberapa masalah. Sejak kapan hidup mereka yang tentram ini berubah menjadi sebuah mimpi buruk yang tidak pernah Azkia bayangkan sebelumnya?

"Kenapa kamu bisa mikir kayak gitu?"

"Enggak ada apa-apa kok."

Devan menghela nafas, "pasti ada sesuatu yang mengganjal ya? Kakak boleh denger enggak?"

Azkia menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa begitu saja bercerita tentang apa yang ia pikirkan, karena Devan termasuk ke dalam sosok yang melihatnya tumbuh besar. Apa yang Azkia lihat bisa saja salah dan Devan ada disini untuk mengoreksinya. Dan ia sedang tidak mau dikoreksi oleh siapapun.

Ya ampun, sejak kapan ia berubah menjadi sosok yang negatif seperti ini? 

"Kamu enggak boleh berpikir kayak gitu soal ayah kamu sendiri lho." ujar Devan dengan dahi yang mengernyit. "Kakak enggak tahu apa yang ada di kepalamu itu, tapi kakak paham kalau ayahmu itu sayang banget sama kamu."

Azkia tidak menjawab kalimat tersebut. Ia menyandarkan kepalanya ke jendela mobil dan diam termenung menatap mobil-mobil lain yang melaju cepat. Semuanya bergerak cepat kecuali mobil yang dikendarai oleh Devan dan Azkia saat itu. Lebih baik Azkia diam saja untuk sementara, ia tidak mau Devan berpikir yang tidak-tidak.

"Kakak harap kamu bisa terima keadaan ayah kamu sekarang, Azkia." Devan memutar setirnya ke kanan, "kalau kamu udah di rumah nanti, nurut sama Gian ya. Jangan lupa jaga kesehatan juga, kakak enggak bakal kemana-mana kalau kalian butuh kakak. Cukup telepon aja."

Azkia menganggukkan kepalanya.


'Bumi masih berputar meskipun kamu berhenti di suatu titik dalam hidupmu', dan itu adalah nasehat yang masih tidak bisa Gian cerna dengan baik selama hidupnya. 

Semua manusia di bumi memiliki tujuannya masing-masing, hanya saja mereka tidak tahu apa tujuannya. Gian merasa hidupnya terlalu aneh untuk dibicarakan. Rasanya seperti ada gundukan kecil di dadanya yang perlahan lahan semakin membesar dan menjadi beban. Seperti pasir yang digunakan untuk membangun rumah, namun Gian tidak tahu apa yang akan ia bangun.

Gian masih tergeletak seperti bintang laut di lantai kamarnya. Ia menatap ke arah langit-langit yang memiliki stiker bintang dan planet lain sambil merenung. Sejak kepergian Samudera dari rumahnya pada pagi hari tadi, pikiran Gian benar-benar kosong tanpa ada isi apapun. Rambutnya yang berantakan ditambah wajahnya yang masih sembab semakin mendukung skenario jika ia memang sedang tidak baik-baik saja.

Untung saja hari ini libur, jadi Gian tidak perlu mengejar pekerjaan sambil menangis untuk sementara. Lagipula kini kantornya sudah memiliki banyak pekerja baru yang tentu saja lebih kompeten daripada Gian yang sudah tua. Meskipun begitu, bayangan untuk memberikan surat resign mulai muncul di dalam pikiran Gian.

Ia sedang dilanda oleh banyak sekali dilema di dalam hidupnya. Kepalanya selalu memuat pikiran baru setiap Gian sudah berniat untuk menyelesaikan masalahnya satu-satu. Gian sama sekali tidak bisa fokus dalam satu hal, dan itu membuatnya sangat-sangat pusing. Membuka sebotol whisky pun tidak akan menyelesaikan apapun.

Apakah ini adalah hasil dari pengalaman percintaannya yang gagal setelah hubungannya dengan Marcella? Gian sudah terbuka dengan Samudera, kenapa Samudera tidak mau melakukan hal yang sama dengannya? Entahlah, pertanyaan seperti itu hanya membuat Gian semakin pusing berkunang-kunang.

Untung saja anaknya sedang berada di tangan yang tepat. Gian tidak mau Azkia melihatnya di titik hidupnya yang paling, paling, paling rendah setelah kejadian Marcella menceraikan dirinya beberapa tahun silam. Semuanya kacau berantakan di dalam, namun terlihat cukup rapi dari luar.

Gian mengerang pelan sambil berusaha untuk bangkit. Ia bergerak mundur untuk duduk di lantai dan bersandar pada lemari bajunya. Dengan kepala yang masih lumayan pening, tangannya meraba-raba lantai untuk mencari ponselnya. Benda tersebut menyala dan menunjukkan panggilan masuk secara bersamaan.

Randall is calling...

Lagi-lagi pria ini. Kapan ia akan berhenti menelepon untuk mengganggu hidupnya?

"Malam, Randall. Kenapa telepon malam-malam? Ada apa?" tanya Gian, sambil berusaha untuk tidak terdengar serak.

"Giano?"

Jantung Gian berhenti mendadak. Matanya seketika membulat ketika sadar jika suara tersebut bukanlah suara milik adik kelasnya, melainkan suara dari sosok yang sudah ia jauhi selama bertahun-tahun. Suara perempuan picik yang ingin menghancurkan hidupnya untuk sekali lagi.

"Sudah aku duga kamu pasti susah ditelepon." Bisa-bisanya perempuan itu tertawa dalam situasi seperti ini. "Besok kita ketemu ya, sayang? Lokasinya aku kirim nanti lewat email, beraninya kamu langsung ganti email setelah kita cerai."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa kamu berani telepon saya, Marcella? Kenapa masih berani bicara sampai kamu harus jerat Randall?" lirih Gian. Ia kehabisan tenaga untuk berteriak. Capek.

"Nanti juga aku kembalikan ponsel dia. Jangan lupa datang ya?"

Panggilan itu berhenti begitu saja. Terlalu singkat, namun Gian membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk melupakannya.

Gian terdiam sambil menatap layar ponsel yang sudah mati. Bayangan wajah yang menyedihkan muncul di layar hitam tersebut, dan itu membuatnya ingin pergi. Lagi-lagi tangisnya harus tumpah untuk kesekian kalinya setelah mengingat percakapan yang baru saja berlangsung.

Tanpa Gian ketahui, anaknya sedaritadi sudah terdiam menunduk di balik pintu kamarnya. Ia mendengar seluruh dialog tanpa henti dan menyadari apa yang sudah terjadi. Tangan Azkia yang awalnya menggenggam knop pintu kini sudah kembali memegang tasnya lagi sambil berbalik arah untuk masuk ke dalam kamar, bersamaan dengan petir besar yang menggelegar di luar rumah.






thank you so much for 7,9+ reads!

don't forget to vote and comment, terima kasih banyak untuk semua dukungannya!

i love you ♡♡♡

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang