41 • erosi mengikis tanah

206 23 4
                                    

Hari ini Samudera memutuskan untuk menelepon adiknya, berniat untuk meminta saran sekaligus ingin mengeluh tentang banyak hal yang sudah terjadi tanpa meminta izin di hidupnya. Samudera sengaja menelepon Langit malam-malam, karena ia tahu jika adiknya kini sudah sibuk dengan kegiatan sekolah dan ekskul. Berdasarkan apa yang Samudera lihat di laman Instagram milik Langit, ia sedang sibuk menjadi siswa teladan berprestasi yang masih hobi menepok bola pingpong dengan bapak-bapak.

Samudera menatap layar ponselnya dengan ekspresi yang ragu karena sudah lama tidak menelepon Langit. Ia menghela nafas panjang, lalu memberanikan diri untuk menekan tombol hijau tersebut sebelum mendekatkan ponsel ke telinga. Meski yang terdengar masih suara dering telepon, Samudera dapat merasakan suara itu menyatu dengan detak jantung yang berdegup dengan kencang.

Namun finger crossed, jika Langit tidak menjawab teleponnya sekarang berarti Samudera harus bercerita kepada Joshua pada malam itu juga. Tetapi Samudera yang sekarang berbeda dengan ia pada lima bulan yang lalu. Karena sekarang ia adalah manusia berdarah pengecut yang ketakutan, sebab Samudera belum berani untuk mengungkapkan semua cerita dan sangat takut juga belum siap jika ia harus kehilangan orang-orang yang kini sudah ia sayang karena hal tersebut. 

Meskipun apa yang Samudera lakukan selama ini seharusnya mendapatkan balasan yang padat dan setimpal, seperti menampar wajahnya menggunakan batu bata, Samudera sama sekali tidak mau terima apapun itu dan apapun bentuknya. Tetapi ia juga tidak mampu untuk selalu hidup dengan beban karena merasa bersalah yang kini sudah tinggal di atas pundaknya berminggu-minggu.

Samudera merasa seperti dihantui oleh Gian. Dihantui dengan sosok yang entah sedang apa sekarang. Bahkan Samudera sama sekali tidak ingat kapan terakhir kali mereka melihat satu sama lain.

Ya ampun. Kenapa pria itu lagi-lagi ada di benaknya?

Nada dering telepon masih saja menyala seolah mengolok-olok Samudera dan beban pikirannya. Jika Langit tidak mengangkat telepon dalam sepuluh detik, Samudera memutuskan untuk hidup seperti tidak ada secuil masalah yang terjadi. Menganggap semuanya tidak pernah ada dan tidak pernah muncul untuk membuat hidupnya susah. Seperti sudah diterpa ombak yang menyapu apapun yang ada di pantai. Sesuai dengan namanya.

"Halo? Abang Samudera?"

Mungkin ini bukan saatnya untuk hidup seperti itu. Samudera sedikit terkesiap dan buru-buru membenarkan posisi duduknya, "Langit? Apa kabarnya?"

"Eh, baik-baik aja kok bang." ujar Langit. "Abang sendiri gimana kabarnya? Baik-baik aja kan ya disana sendirian?"

"Baik kok, agak kesepian aja nggak ada lo disini."

"Hilih. Padahal udah pindah berapa bulan coba, masa iya baru rindu sekarang. Basi lo bang."

"Bukannya berterima kasih abang masih kangen sama lo." Samudera menghela nafas pelan, "gimana kabarnya lo selama disana, Lang? Kabar bunda juga gimana?"

Ia mendengar hening selama beberapa saat. Semakin lama Langit tidak menjawab, semakin menyusut juga dada Samudera hingga ia mampu merasakan batinnya menjadi sesak. Sangat-sangat sesak.

Samudera ingin benar-benar mengabaikan perasaannya, namun entah kenapa di telepon ini Langit bertindak tidak seperti biasanya. Benak Samudera terasa seperti ada sesuatu yang tiba-tiba saja mengganjal. Seperti ada beban tajam yang masuk dari punggungnya sambil menusuk Samudera perlahan-lahan, dan akan menembus jauh keluar dari dada layaknya peluru senapan akan membuat Samudera tewas.

Langit yang berdeham dari seberang telepon membuat Samudera sadar dari lamunannya. Ia menepuk pelan telepon untuk memastikan jika abangnya belum mematikan telepon sebelum kembali menjawab pertanyaan abangnya dengan kalimat polos, "kabar bunda sama gua baik-baik aja kok bang disini. Kebetulan bunda sekarang udah buka usaha kue kering."

Samudera seharusnya merasa tenang setelah Langit berbicara seperti itu, namun perasaannya masih belum terbiasa.

"Kalau gue mudik, sisain ya!" ujar Samudera sambil berpura-pura bahagia.

Tetapi aslinya ia merasa seperti ada seekor kucing yang duduk di atas dadanya lebih dari dua jam. Entah karena mendengar adiknya baik-baik saja selama disana atau sadar jika Langit benar-benar biasa aja dan mampu hidup tanpa kehadiran Samudera.

Ia hanya bisa tersenyum lebar meskipun Langit tidak akan melihatnya. Mungkin ini tidak akan mudah, tetapi mau tidak mau Samudera harus bisa move on dan lanjut berbicara dengan adiknya seperti biasa. Lagipula, Langit tidak akan bertanya pada dirinya soal yang aneh-aneh kan?

"Gimana kabarnya om Gian sama abang?"

Kan?

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang