16 • tahan

398 44 4
                                    

Gian menghela nafas panjang.

Sekarang ia dan Azkia sedang berdiri di depan gerbang SMA kesayangannya, tempat dimana Gian belajar tentang segala hal yang membuatnya berkembang menjadi sekarang.

Menjadi single father, misalnya. Meski itu sama sekali tidak diajarkan dimana-mana.

Keduanya berjalan masuk menuju aula yang terletak di tengah-tengah gedung sekolah. Setiap koridor dihiasi oleh foto-foto kegiatan OSIS dan juga beberapa stan makanan yang disediakan langsung oleh sekolah. Gian sampai berusaha menggenggam tangan Azkia sepanjang perjalanan, mencegahnya untuk kabur dan jajan.

Gian menghela nafas lagi sebelum membuka pintu aula. Dadanya terasa berdenyut aneh, seperti sesuatu akan menerobos jantungnya secara mendadak.

"Ayah?" ujar Azkia.

"Kenapa dek?"

"Ayah enggak apa-apa kan?" Dahi anaknya mengkerut khawatir.

"Eh?" Gian menoleh ke arahnya, "ada apa? Azkia sakit? Mau pulang?"

"Habis ayah daritadi-"

"Engga ada kok nak, ayah engga apa-apa."

"Terus kenapa hela nafas? Ayah mau asma atau gejala stroke? Duh, aku masih ga siap jadi anak yatim piatu yah." Kata Azkia sambil mengipasi dahinya.

"Anak setan", gumam Gian dalam hati. Ia hanya menggelengkan kepala dan berkata, "ayah engga apa-apa kok. Nanti pulangnya kita pergi makan malem ya?"

"Kita makan di Justus?"

"Iya dek, yang penting bareng sama adek."

"Kak Gian!" Seseorang berlari ke mendekati kedua manusia tersebut, "akhirnya dateng juga. Udah ditungguin sama anak-anak yang lain ya kak di belakang aula!"

Gian mengangguk, "makasih ya. Saya pergi duluan kalau gitu."

Laki-laki tersebut tersenyum lebar dan pergi ke arah yang berlawanan, meninggalkan kedua ayah dan anak. Gian menggenggam erat tangan Azkia, jantungnya masih belum siap untuk melihat apa yang ada untuknya nanti.

Azkia hanya menatap bingung ke arah Gian. Sesuatu mengganjal di hatinya saat melihat ekspresi ayahnya yang sedang menahan sakit. Ia berusaha yakin itu karena kakinya, tetapi Azkia tetap berusaha untuk selalu optimis. Jemari Azkia mengelus pelan jempol ayahnya.

Gian membuka pintu aula, terlihat ada beberapa panitia acara berkumpul di aula sambil mengatur segala hal. Tiba-tiba saja ada seorang pria jangkung berlari kecil menghampiri Gian.

"Kak Gian! Akhirnya," Randall menjabat tangannya, "selamat datang ya kak. Acaranya sebentar lagi mulai kok, kita masih nunggu beberapa persiapan aja."

Gian mengangguk, "makasih banyak."

"Hi Gilang." Sapa Randall.

"Hai mister Randall." Azkia tersenyum tipis. "Aku enggak nyangka ketemu mister di sekolah ayah."

Randall tergelak mendengar Azkia, "mister pun enggak nyangka. Saya mau cari tempat duduk dulu buat kalian ya."

Setelah sosok Randall semakin mengecil dari pandangannya, Gian segera menghela nafas panjang. Diajaknya Azkia untuk duduk di dekat jendela yang menghubungkan aula dengan lapangan besar, Gian mengeluarkan ponselnya untuk mengabari Devan.

Azkia menatap sekeliling. Aulanya tidak terlalu besar seperti di sekolahnya, tetapi lumayan luas untuk dipakai berbagai acara. Ia ingat dulu pernah menjadikan sekolah ini sebagai SMA tujuan pertamanya, tetapi Gian tidak setuju dan malah menyekolahkannya di sekolah swasta.

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang