38 • simpul mati

204 28 9
                                    

Wanita itu berusaha menyuapi sepotong kue cokelat kepada pria di sampingnya dengan tatapan manja dan penuh cinta. Dipotongnya makanan manis tersebut perlahan, dan ia menyendoknya sambil mengucapkan kalimat yang sama-sama manis. 

Pria tersebut menerima suapannya dengan bahagia, lalu mengecup pipi kekasihnya sehingga meninggalkan bekas kecil dari potongan kue cokelat. Keduanya tertawa terbahak-bahak setelah menyadari hal tersebut kemudian wanita itu mengelap bersih noda di pipinya dan mengucapkan 'i love you' untuk kekasihnya.

Dan Gian merasa sangat muak dengan pemandangan tersebut.

Tetapi ia rasa ini lebih baik daripada menatap perempuan di hadapannya yang sibuk sendiri dengan ponselnya. Mengetik entah apa yang ia pikirkan, tidak jarang senyum liciknya sesekali muncul sehingga membuat tenggorokan Gian tertahan, seperti ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya di tempat.

Gian sendiri tidak tahu kenapa ia menyetujui ajakan Marcella untuk bertemu. Ia malah memaksakan diri padahal otaknya sedaritadi sudah berteriak kalimat sumpah serapah yang membuatnya pusing sendiri. Namun Gian terpaksa harus melakukannya demi Azkia, karena perempuan ini memiliki isi kepala yang cukup memusingkan. Gian tidak bisa menebak apa yang nanti akan ia lakukan kepadanya.

Marcella akhirnya berhenti mengecek ponselnya. Ia menghela nafas panjang dan menatap bosan ke arah Gian. Tatapannya terasa menusuk sehingga membuat Gian hampir mual. Bibir itu melengkung ke atas saat sadar jika Gian merasa tidak nyaman dengannya.

"Bagaimana kabar anakku?" tanyanya ketus.

Gigi Gian nyaris bergemeretak mendengar pertanyaan tersebut.

"Baik-baik saja."

"Sudah masuk ke Universitas?"

"Sudah."

"Bagaimana dengan kesehatannya? Ia tidak sama gilanya dengan kamu saat SMA, kan?"

Gian menggelengkan kepalanya, "tidak tahu. Kenapa enggak tanya saja ke anaknya sendiri?"

"Aku tidak bisa menghubunginya melalui apapun." ujar Marcella. "Lebih tepatnya, aku tidak mau tahu. Pastikan saja dia sehat dan tidak membutuhkan obat-obatan. Untuk apa aku menitipkan anakku jika ia tumbuh gila seperti Gian?"

Dadanya terasa hancur terkoyak karena kata-kata yang dilontarkan oleh Marcella semakin lama semakin menohok. Namun Gian tahu jika itu bukan salah dirinya, Gian paham apa yang Marcella bicarakan dan sebagian besar adalah fakta. Gian belum gila, namun ia hampir Gila.

"Anakmu, katanya? Sebut nama dia saja enggak. Hafal enggak kamu namanya?" celetuk Gian sambil berusaha menahan amarah.

"Untuk apa aku menghafal namanya? Tidak perlu susah-susah, aku sama sekali tidak peduli." ucap Marcella, sama marahnya dengan mantan suaminya.

"Kalau enggak peduli, buat apa sampai menelepon lewat ponselnya Randall?" Gian tertawa terbahak-bahak, "apa kamu sebegitu rindunya ya sampai berkali-kali berbohong?"

Marcella mendecih dan memalingkan wajahnya. Melihat cara perempuan tersebut menggenggam cangkir kopinya dengan erat, Gian tahu benda itu akan melayang ke arahnya seperti apa yang Marcella lakukan di masa lalu. Namun karena mereka berdua sedang bertemu di ruang publik, mungkin tidak akan ada luka baru untuk hari ini.

"Aku berniat menjemputnya lagi nanti."

Gian menatap Marcella tidak percaya, "apa maksudmu menjemput dia?"

"Suamiku malu karena ia tidak punya anak laki-laki yang bisa melanjutkan jabatan di perusahaan keluarganya." ujar Marcella dengan santai tanpa peduli wajah Gian yang memanas, "lagipula buat apa aku menjelaskannya? Yang penting, aku akan menjemput anakmu nanti."

"Hanya karena tidak punya anak laki-laki saja, kamu berani menculik anakku satu-satunya?"

"Kamu tidak akan paham bagaimana rasanya, Gian."

"Memang apa sih yang kamu pahami tentang anakku?" ujar Gian dengan tangan yang tidak berhenti meremas-remas ujung kemeja, berusaha untuk meredam amarah. "Kamu bahkan tidak bisa menyebutkan nama lengkapnya tanpa harus melihat ponselmu."

Entah sudah terbakar emosi atau memang kesabaran Marcella sudah habis, ia menggebrak meja sampai beberapa pengunjung kafe langsung memalingkan wajah ke arah mantan suami dan istri tersebut. Nafas perempuan itu terengah-engah seperti mengeluarkan asap marah dari dada menuju pernafasannya. 

Gian berusaha untuk tidak menampar wajah Marcella keras-keras. Ia berpura-pura tersenyum puas kepada Marcella karena dadanya terasa sesak dan ia yakin tangisannya akan meledak sewaktu-waktu. Akan tetapi, Gian paham jika ini adalah salah satu cara yang Marcella lakukan jika ia sedang marah. Perempuan jahat ini akan melakukan kontak fisik saat ada sesuatu yang berjalan tidak sesuai dengan keinginannya.

"Kalau ini adalah petunjuk bagaimana caramu memperlakukan anakku nanti, aku benar-benar akan menjauhkan anakku dari jangkauan kalian berdua bagaimanapun caranya." ucapnya sambil menatap tajam kedua mata Marcella.

"Kamu tidak paham apapun soal masalah ini. Singkatnya, kamu tidak akan paham karena kamu tidak punya apa yang suamiku punya, jadi jangan semena-mena dan tetap jaga ucapanmu."

"Aku memang enggak punya apapun yang suami barumu punya." Gian menghela nafas panjang sebelum mengucapkan, "Namun aku ini ayah dari satu anak laki-laki dan suamimu tidak punya gelar tersebut. Gimana? Dia juga enggak paham kan, bagaimana rasanya jadi single parent karena ditinggalkan istri keparat yang lebih memilih pria berdompet tebal?"

Gian beranjak dari kursinya dan berjalan keluar dari kafe tersebut, mengabaikan perempuan di belakangnya yang berteriak kesal hingga melemparkan benda-benda yang ada di dekatnya. Dada Gian mulai terasa sesak bukan main, akan tetapi Gian merasa benar-benar bahagia setelah bisa melawan perasaan takutnya yang sudah menumpuk sejak lama kepada Marcella.

Ia mungkin bukan pria yang baik jika orang-orang melihatnya berdasarkan kejadian tadi, tetapi Gian yakin ia sudah melakukan hal yang terbaik untuk Azkia agar anaknya tidak terjerat dengan apa yang terjadi di dalam masa lalu ayahnya. Biar Gian saja yang berusaha untuk memperbaiki memori tersebut, prioritasnya sekarang adalah kebahagiaan Azkia. Hingga kapanpun, hal itu akan menjadi alasannya untuk tidak menyerah.

Tanpa sadar, air mata bahagia menetes di pipinya bersamaan dengan senyum yang kini mulai merekah. Gian mengingatkan diri sendiri untuk tetap berjuang melawan mantan istrinya yang keji bertepatan dengan berusaha untuk memaafkan diri sendiri atas apa yang terjadi. Semuanya mungkin termasuk ke dalam kategori kesalahan miliknya, tetapi ia tidak perlu mengangkatnya sendirian. Mungkin Gian hanya perlu ditemani saja.

Azkia memang membutuhkan penjelasan tentang semuanya. Gian rasa ini sudah saatnya untuk memberitahu apa yang benar-benar terjadi, supaya ia bisa merencanakannya lebih jauh di lain hari.

thank you so much for 8rb reads!
jangan lupa vote & comment,
thank you n i love you all ♡

+ check boardku untuk playlist loose steps!

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang