TAEIL AS [PAKDE]

25.4K 3.8K 2K
                                    

"nduk, umur kamu 'kan sudah dua puluh delapan, kapan eyang mau dikenalin sama calon suamimu?"

lagi-lagi pertanyaan itu yang keluar dari mulut eyang ketika melihatku datang ke acara bulanan keluarga hanya bersama mama dan papa seperti biasanya.

"adikmu itu lho udah dua buntutnya, masa kamu sudah mau kepala tiga masih belum punya gandengan juga."

aku hanya tersenyum tipis sebagai respon. mau menjawab pun rasanya sia-sia, karena eyang sendiri memiliki seribu balasan yang akan membuatku kalah telak.

"percuma bu ngasih tau si sulung ini, mulutku bahkan sudah mau berbusa kali nyuruh dia cari suami," celetuk ibu yang baru bergabung bersama kami setelah menyapa kakak dan adiknya di dapur.

eyang menghela napas pasrah. tak jauh berbeda dari mama, eyang juga sebenarnya sudah sama lelahnya memberi tahuku untuk segera mencari calon suami.

katanya tidak bagus terlalu lama menunda. aku bahkan kasihan dengan adikku yang terkadang menjadi kambing hitam karena ia menikah duluan alias melangkahiku naik ke pelaminan.

di antara semua sepupuku, aku adalah cucu paling tua keempat. dan satu-satunya yang sampai saat ini belum berniat menikah.

"udahlah eyang, cucu kesayangan eyang itu memang gak mau nikah. dia mau menghabiskan sisa-sisa hidupnya untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan laki-laki."

aku tersenyum puas mendengar ucapan kakak sepupuku yang terkesan membelaku.

"tapi gak seharusnya gitu tau dek, lo juga perlu laki-laki buat ngejaga lo, ngelindungin lo, merhatiin lo, peluk dan cium lo setiap hari, ngangetin ranjang—"

mba ajeng tidak menyelesaikan kalimatnya karena aku sudah lebih dulu menatapnya tajam.

kakak sepupuku yang satu itu memang pembahasannya agak sedikit vulgar dan delapan belas ples ples.

"dek, gimana kalo lo nikah sama pakde taeil aja," usul mba ajeng seraya menjentikkan jarinya, seolah itu adalah ide paling brilian yang pernah dia pikirkan.

"mata lo pakde taeil, udah deh sana samperin suami lo." aku berujar dengan ketus membuat mba ajeng menghampiri suaminya dengan dumelan kesal.

dasar perempuan. ngedumel tapi manut juga.

ngomong-ngomong pakde taeil adalah pamanku, ia mantan suami mendiang tanteku yang sudah meninggal.

namun walau begitu, pakde taeil masih sering datang ke acara keluarga setiap bulan karena paksaan dari eyang.

kami hanya pernah mengobrol beberapa kali, tidak terlalu sering. karena aku memang membatasi setiap interaksiku dengan pria yang tidak memiliki hubungan darah denganku.

umurnya memang sudah menginjak angka tiga puluh dua, namun wajah dan tubuhnya masih terlihat seperti pria berumur dua puluhan. kata eyang.

aku dan mendiang tanteku seumuran, itu mengapa umurku dan pakde taeil tidak terpaut terlalu jauh.

dari yang aku tahu sih karena eyang menikah di usianya yang sangat muda. dan mama menikah di usia yang sangat matang, kematangan bahkan.

"assalamualaikum." suara halus itu mengalun lembut menyapa indra pendengaranku.

"waalaikumussalam," jawab kami serentak.

aku menoleh, mencari tahu siapa yang datang, karena sejujurnya aku tidak segabut itu untuk menghapal suara-suara saudaraku.

"yaampun akhirnya dateng juga, ibu kira gak dateng karena banyak kerjaan," seru eyang heboh, ia bahkan bangkit dari duduk cantiknya hanya untuk menyapa mantan menantunya.

NCT AS | NCT OT23Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang