"anak mami kenapa mukanya lesu begini, hm? ini juga jeno kenapa pipinya lebam coba."
aku yang sedang menonton di ruang tengah spontan beranjak saat melihat kedua anak bujangku yang terlihat lesu tak seperti biasanya.
"gak papa. jeno capek, jeno ke kamar duluan." setelah berucap dengan nada datarnya, jeno langsung melewatiku begitu saja tanpa mencium punggung tangan dan pipiku.
aku menunduk sedih. namun setelah menyadari jaemin masih berada dihadapanku, aku kembali mendongak dengan senyum lebar yang sedikit dipaksakan.
"anak mami kenapa sedih gitu? ada masalah ya di sekolah? mau cerita?" aku meraih tangan kanan jaemin dan mengusapnya penuh kasih sayang.
jaemin melengkungkan bibirnya ke bawah, ia mendekatiku dan langsung memeluk tubuhku erat.
tanpa berusaha melepas pelukan jaemin, aku menuntunnya untuk duduk di sofa ruang tengah di mana aku menonton tv.
"tadi di sekolah jeno berantem gara-gara ada yang ngejek nana. katanya nana anak manja karena panggil ibunya dengan sebutan mami." aku mengulum senyum sendu, lalu menepuk-nepuk punggung lebar anak bujangku dengan sayang.
"jeno sampe dipanggil guru bk karena nonjok temennya sampe babak belur," lanjut jaemin, kali ini air mata menetes dari pelupuk matanya.
"nana gak tega liat jeno berantem terus setiap ada yang ngejek kita cuma karena panggilan mami dan karena kita punya karakter yang beda."
aku memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas panjang. "ya udah sekarang nana masuk kamar ya? nanti jeno biar mami yang ajak ngomong biar dia gak berantem terus."
jaemin melepas pelukannya pada tubuhku, mengangguk menurut lalu mengecup pipiku sekilas.
"nana sayang mami," bisiknya sebelum melangkah meninggalkanku yang masih duduk terdiam di ruang tengah.
setelah memastikan jaemin sudah benar-benar masuk ke kamar, aku langsung berlari ke dapur karena biasanya jika sore hari begini semua asisten rumah tangga berada di pavilliun belakang rumah.
aku berjongkok dibalik meja pantry, menyembunyikan wajahku dilipatan lutut dan menangis tanpa suara.
entah sudah berapa kali jeno bertengkar dan beberapa kali pula aku harus datang ke sekolahnya.
hanya karena panggilan mereka padaku, jaemin yang memang memiliki sifat lebih manja sering kali mendapat ejekan dari teman-teman sekolahnya. dan jeno yang dianggap sebagai kakak tentu saja membela adiknya.
sepertinya mereka memang harus merubah panggilannya padaku. sepele memang, tapi aku tidak suka hanya karena hal sepele ini putraku sampai diejek oleh teman sekolahnya.
setelah puas menangis, aku kemudian membasuh wajahku di wastafel dapur. lalu berbalik berniat mengecek keadaan jeno.
putra sulungku yang satu itu memang sedikit tempramental, persis seperti ayahnya.
sampai di depan pintu kamar jeno, aku menarik napas panjang sebelum mengetuknya beberapa kali.
"jeno? ini.. bunda, bunda boleh masuk?" aku tau sedari dulu jeno selalu ingin memanggilku dengan sebutan bunda, namun karena ayahnya tidak setuju maka mau tidak mau ia tetap memanggilku mami.
"buka aja, pintunya gak jeno kunci," sahutnya dari dalam.
setelah mendapat sahutan, aku langsung membuka pintu kayu jati itu perlahan, menunjukkan jeno yang duduk di atas kasurnya dengan tatapan yang terarah padaku.
aku tersenyum tipis, kembali menutup pintu kamarnya sebelum duduk dihadapan jeno.
"jeno marah sama bunda?" tanyaku pelan. merasa sedikit aneh dengan panggilan itu.
"bunda? bunda siapa? aku biasa manggil ibu aku dengan sebutan mami?" balasnya dengan dahi mengerut.
"jeno emangnya gak inget dulu waktu kecil pengen banget panggil mami dengan sebutan bunda, karena hampir semua temen-temen jeno dan nana panggil ibunya dengan sebutan itu?"
jeno mendecih pelan. "itu dulu, sekarang aku udah gede dan bukan anak kecil yang selalu pengen ikutin apa yang temennya lakuin."
aku terkekeh pelan, mengacak surai halus jeno gemas, tanpa melepas kontak mata di antara kami.
"jeno bebas, jeno terserah mau panggil mami dengan sebutan apapun yang bikin jeno seneng dan gak bikin nana diejek sama temen-temen di sekolah," ucapku seraya mengusap punggung tangan berurat jeno.
jeno menarik tangannya dari genggamanku, wajahnya menunjukkan raut tidak suka.
"gak. aku gak mau. aku mau tetep panggil mami dengan sebutan mami. aku gak mau hal sepele ini bikin mami sedih," ucapnya tak main-main, terlihat jelas dari matanya yang menunjukkan keseriusan.
"mami gak papa, mami juga akan bujuk papi biar dia gak ngomel lagi setiap jeno mau ganti panggilan jeno ke mami dan papi."
aku mendengus geli ketika mengingat doyoung—suamiku, ayah dari anak-anak—yang selalu mengomel setiap jeno mengatakan ingin mengubah panggilan untuk kami.
"jeno gak mau. lagipula mau panggil bunda atau mami itu sama aja, artinya sama-sama ibu yang mempertaruhkan nyawanya untuk ngelahirin jeno sama nana dan ngerawat kita sampe gede."
aku tersenyum haru, merentangkan kedua tanganku agar jeno memelukku. jeno mendengus geli, namun akhirnya tetap memelukku erat dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku.
"aku liat mami nangis di dapur tadi. aku gak suka, aku gak mau mami nangis lagi. aku ngerasa bersalah udah ngomong ketus ke mami kayak tadi."
tanganku naik mengusap punggung dan juga kepala jeno bergantian, hingga suara dari ambang pintu yang ternyata sudah terbuka sejak tadi mengalihkan perhatian kami.
"NANA SAMA PAPI MAU DIPELUK JUGAAAA!"
absurd bgt malem malem kepikiran alur begini 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
NCT AS | NCT OT23
Short Story𝐌𝐚𝐫𝐢 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐡𝐚𝐥𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫 𝐍𝐂𝐓. ⚠️banyak kata kasar⚠️ A wattpad story by ©aimmortelle_