21. Sakit dan Sebuah Foto

48K 3.7K 247
                                    

Semua pekerja di mansion besar kediaman keluarga Raja sedang dihebohkan oleh tuan muda mereka yang tiba-tiba datang dengan aura berbeda.

Pria itu tetap berjalan gagah, pandangannya tajam. Namun bibirnya yang merah alami terlihat sedikit memucat.

Bara berjalan ke arah lift untuk menuju lantai 3 khusus kamarnya. Di pertengahan jalan, ia melihat kedua orang tuanya yang asik mengobrol di ruang tengah. Sampai-sampai tidak menyadari keberadaannya. Tak ingin ambil pusing, Bara langsung memasuki lift. Kepalanya semakin berdenyut, tubuh pun terasa lemas. Mungkin ini efek terlalu banyak minum alkohol semalam.

Sesampainya di dalam kamar, Bara langsung melempar tubuhnya ke tempat tidur, ia memejamkan mata lama.

Bara merasakan usapan lembut di rambutnya. Ia membuka mata perlahan. Seorang wanita paruh baya duduk di sampingnya ditemani seorang pria paruh baya yang masih berdiri dengan kedua tangan berada di dalam saku celana.

"Sayang, jangan bikin Mama khawatir! Kita ke rumah sakit sekarang ya!" Bara menggeleng singkat sambil mendudukkan tubuhnya.

"Badan panas begini, bibir kamu pucat."

"Nggak usah, Ma."

"Kita ke rumah sakit sekarang!" Perkataan Reno seakan tak ingin dibantah. Pria itu juga merasa khawatir dengan keadaan anaknya tidak seperti biasa. Yang ia tau, Bara tidak selemah itu.

Bara menggeleng, gejolak perutnya seketika kembali terasa seperti tadi pagi saat berada di apartemen. Ia sedikit berlari menuju toilet yang berada di kamar. Memuntahkan isi perutnya di wastafel.

Luna dan Reno panik. Mereka membuntuti Bara dari belakang. Luna mengusap punggung Bara untuk menenangkan.

"Pa, telepon dokter sekarang!" Reno meronggoh ponselnya di saku. Ia segera menghubungi dokter pribadi keluarga Raja.

Saat Reno akan menyambungkan telepon, Bara langsung menatapnya cepat. "Bara nggak perlu dokter!"

"Sayang, kamu kenapa bisa begini?" Isakan Luna terdengar. Ia tak bisa melihat anaknya sendiri sakit. Sebagai orang tua, ia bisa melihat adanya kesedihan di mata Bara.

Luna menuntun Bara untuk merebahkan tubuh di atas tempat tidur.

"Ma." Panggilan itu terasa lirih. Luna memeluknya erat.

"Kenapa, sayang? Cerita sama Mama."

"Kenapa sakit begini?"

Bara membalas pelukan Luna tak kalah erat. "Felicia, Ma."

"Felicia, tinggalin Bara."

Luna melepas pelukannya. Ia menatap sang anak. "Cerita sama Mama, kenapa bisa?"

Mengalirlah cerita Bara dari awal masalah mereka sampai akhir. Tanpa ada yang ia tutupi. Luna dan Reno setia mendengarkan dengan teliti dan mencoba menilai mana yang salah dan benar.

Di pertengahan cerita, Bara terdiam sejenak. Tawa Felica berputar di kepalanya. Ia benar-benar merindukan gadis itu.

Bara telah menyelesaikan ceritanya. Luna membenarkan duduk. Tangannya terangkat untuk memegang bahu sang anak. Dalam hati ia tersenyum senang sekaligus bangga. Tidak salah lagi Bara memilih Felicia sebagai pasangannya.

Menurut Luna, Felicia memiliki niat baik mengambil keputusan itu. Terkadang untuk menyadarkan seseorang, dia harus siap untuk berpisah. Walaupun rasanya sangat menyakitkan, namun kembali lagi kepada mereka yang menjalin sebuah hubungan itu. Mereka bisa atau tidak mengendalikan diri untuk saling percaya dan menjaga hati satu sama lain.

"Lihat Mama!" Bara mendongakan kepala.

"Menurut Mama, Felicia ada benarnya. Dia lakuin ini semua punya tujuan biar kamu bisa jadi lebih baik. Ingat Bara, nggak semua orang di dunia ini punya sifat baik. Banyak orang di luar sana yang mau menjatuhkan kamu."

My King (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang