Felicia tak menghiraukan panggilan Bara. Sementara pria itu tak menyerah untuk mengejarnya. Sesampainya di ruang tengah Bara berhasil menggapai tangan Felicia. Ia memegangnya erat, tak ingin kehilangan.
"Stop, please!" ucap Bara lirih.
Gadis itu mencoba melepaskan cekalan Bara, dan akhirnya berhasil. Ia mengusap kasar air matanya yang tak bisa berhenti.
"Don't cry!"
"Jangan buat aku makin sakit lihat air mata kamu." Tubuh Bara semakin lemas. Ia tak bisa melihat Felicia seperti itu. Bahkan luka pukulan pun tak sebanding dengan kesedihannya.
"Aku bisa jelasin semua."
Felicia tersenyum miring. "Jelasin apa? Jelasin kalau kamu berduaan sama perempuan di club. Itu yang mau kamu jelasin?"
"Nggak, itu nggak bener."
"Nggak bener? Kamu lupa ingatan?"
"Waktu itu aku mabuk dan nggak sadar dia deketin aku. Dia cuman perempuan club. Aku nggak punya hubungan sama dia."
Tatapan Felicia berubah lirih, namun tersirat kemarahan. "Aku kira setelah aku bilang gitu kamu bakal mikir. Aku kira kamu bakal memperbaiki hubungan kita, Bara. Aku berharap itu terjadi. Tapi kenapa kamu malah pergi ke tempat kayak gitu?"
"Aku lihat jelas kamu sama dia. Joget bareng, ketawa bareng, bahkan kamu nggak marah sama sekali perempuan itu duduk di pangkuan kamu. Apa itu yang kamu kasih ke aku biar hubungan kita tetap berjalan?"
"Jawab!!" Pertama kalinya Felicia berani berteriak di hadapan Bara.
"Jawab, Bara!"
"Mana Bara yang selalu berani sama lawannya? Mana Bara yang kejam?"
Kedua tangan Felicia mengoyangkan bahu Bara. Air mata gadis itu mengalir deras. Isakan terdengar jelas. Ia seakan lupa bahwa Bara sedang sakit.
Bara menundukan kepala. Ia lebih baik tertembak dari pada harus melewati masalah seperti ini. Tak bisa dipungkiri bahwa ini semua adalah salahnya.
"Jangan anggap sepele masalah ini. Aku bukan perempuan yang selalu sabar."
Tiba-tiba tubuh Bara tumbang di atas sofa. Matanya tak bisa terbuka sempurna. Ia sakit, tetapi hatinya lebih dari rasa itu.
"Bara." Felicia menahan tubuh sang kekasih. Memindahkan kepala pria itu di pahanya sebagai bantalan.
Bara meraih kedua tangan Felicia. Mereka saling menatap.
Tes
Setetes air mata Bara mengalir. Seketika gadis itu langsung memalingkan wajah. Untuk pertama kalinya Bara menangis hanya karena seorang gadis. Bahkan saat ia mendapatkan masalah berat apa pun, ia tak pernah mengeluarkan air mata Itu.
"Sakit."
"Sakit, sayang."
Sama seperti yang dirasakan Bara, organ tubuh Felicia seolah berhenti bekerja. Pria yang selalu berbuat seenaknya, kejam, dingin, sekarang terlihat lemah.
"Tunggu di sini." Felicia berniat untuk mengambil kompres yang masih berada di kamar.
"No."
Bara memaksakan diri untuk duduk. Ia memeluk erat Felicia. Menyimpan wajahnya ke dalam ceruk leher gadis itu.
"Maaf."
"Cukup, aku nggak bisa lihat kamu kayak gini."
Felicia merasakan lehernya basar. Ia melepaskan pelukan Bara. Lalu mengusap lembut bekas air mata itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My King (END)
Teen FictionKeluarga bermarga Raja adalah keluarga yang selalu dihormati. Tidak ada yang berani menentang mereka. Meskipun ada, mereka harus menghilang atau memilih untuk mati. Barata Almaraja. Seorang laki-laki yang paling kejam di keluarga Raja. Apa pun sela...