Epilog

7.7K 997 853
                                    

Mau ekstra part ? 400 komen yaaaw ehe. Sengaja biar aku ada jeda, tapi asli kalian semua hebat banget. Yang sebelumnya target 300 tapi kalian lebihin. Mana cepet banget weh. Yaa Allah terharu banget huhu. Semoga Allaah balas kebaikan kalian semua. Aamiin.

Maika mengecek kondisi kamar bekas Rafan yang nantinya akan ditempati oleh Zayn

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maika mengecek kondisi kamar bekas Rafan yang nantinya akan ditempati oleh Zayn. Kemarin sore Rafan, Maika, Rumaysha, Zayn dan Aysar pergi ke Bandung. Mungkin lusa baru akan pulang. Warna cat yang sudah usang, Maika jadi flashback saat pertama kali datang ke sini di usianya yang ke 16 tahun. Dia juga ingat bagaimana ramahnya Enin Rahimahallaah saat menyambutnya.

"Sargan kuliah di Bandung juga, kan?" tanya Maika. Zayn yang tengah asyik menggendong Aysar tidak mendengar pertanyaan ummanya.

"Heh!" Maika melempar bantal donat pada Zayn.

"Astaghfirullah, Abang kaget, Car," kata Zayn.

"Sargan satu kampus sama kamu?"

"Iya Umma sayang," jawab Zayn. Tangannya tergerak menghapus air liur Aysar. Bayi itu kini tumbuh sangat sehat. Di usianya yang sudah 4 bulan. Berat badannya mencapai 5,2 kilogram. Sekalipun gemuk, Aysar tipikal anak yang tidak mau diam. Seperti siapa coba? Macam ulat bulu, dia sangat hobi mengguling-gulingkan tubuhnya.

"Ya udah kalian tinggal bareng aja, masih ada kamar kosong kan? Biar ada temen juga," saran Maika.

"Eh iya bener juga, gak kepikiran. Ntar Abang coba tanya dia. Eh Acar jangan ngemut jari terus," kata Zayn. Aysar tertawa menunjukkan gusinya yang tidak bergigi.

"Ini awas ya, Bang. Mentang-mentang gak Umma cek kamu jadi jorok. Jangan buang sampah sembarangan, tiap hari disapu. Kalau males, pel 3 hari sekali. Biar kalau dipakai ibadah nyaman. JANGAN BERANI-BERANI BAWA ANAK CEWEK," tekan Maika di akhir kalimatnya membuat Zayn menutup kupingnya. Sedangkan Aysar malah tertawa ngakak. Bayi kecil itu mengira kalau Ummanya tengah mengajak dia bermain.

"Astaghfirullah, enggak lah Umma. Mana berani, pokoknya Umma percaya sama Abang. Doain Abang juga," kata Zayn.

"Nah good, ini tempat khusus sprai, ya. Ini pengharum ruangan. Kalau kamu lagi stress banyak tugas, nyalain lilin aromatherapy biar rileks. Ini cemilan buat satu bulan. Selebihnya stok sendiri, kalau ada tugas jangan suka ditunda. Cicil. Ini umma printin planner work." Zayn menatap ummanya dengan tatapan berkaca-kaca. Sampai sedetail itu.

"Meskipun tinggal sendiri, jangan parnoan. Jangan takut jurig, minimal tiap hari baca 30 ayat surat al baqarah. Kalau lagi banyak pikiran telepon Umma aja— eh naha kalah ceurik? (Eh kenapa nangis?)" Zayn menggelengkan kepalanya. Membuat Maika terenyuh. Dia pun menahan diri untuk tidak menangis. Melepas putranya untuk hidup mandiri, begitu berat bagi Maika yang terbiasa merawat segala keperluan Zayn sejak anak itu terlahir ke dunia.

"Anak Umma bukan laki-laki lemah, kelak dia akan jadi laki-laki tangguh. Umma percaya kalau anak umma ini laki-laki baik yang paham posisi. Dunia perkampusan itu cakupannya lebih luas lagi. Kamu boleh kenalan dengan siapapun. Tapi perihal teman. Jangan bermudah-mudahan. Seleksi, siapa yang layak jadi teman dekat kamu. Seks bebas, narkoba, merokok di kalangan mahasiswa begitu rawan, perkuat hatimu ya, Nak. Umma selalu berdoa untuk keselamatan dunia akhirat kamu," nasihat Maika sambil mengelus rambut Zayn.

Nedrian's Sibling [Book 3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang