(200 komen for part 45, epilog)
Sargan menatap bayinya yang terlelap damai di dalam inkubator. Ini hari ketujuh sejak kepergian Zara, istrinya. Dan selama itu dia bolak-balik ke rumah sakit untuk mengunjungi Kayla. Lahirnya Kayla yang begitu awal atau bisa disebut prematur disebabkan karena tekanan darah tinggi atau hipertensi yang dimiliki Zara. Bayi mereka juga diharuskan berada di rumah sakit selama kurang lebih 1 bulan untuk menangani perawatan intensif.
Sargan mencoba menghapus rasa sedihnya dengan terus menemani Kayla putri mereka. Harusnya hari ini dia masuk sekolah untuk membuat buku tahunan bersama teman-temannya. Air matanya terasa kering karena sudah terlalu banyak dia menangis. Nyatanya sebanyak apapun Sargan menangis, Zara tidak lantas jadi hidup lagi. Dan kemarin, psikolognya bilang kalau merasa sedih, terpukul dan sakit itu wajar. Sargan punya hati, tentu dia berhak merasakannya. Sebab kalau orang bilang bahwa Sargan berhak bahagia, maka Sargan pun berhak merasa sedih.
Sargan mencoba berdamai, meski rasanya dia ingin mati. Mungkin saja kewarasannya pun perlahan memudar. Tapi Sargan tidak mau menyia-nyiakan harapan yang Zara beri padanya. Dia harus berhasil mendidik Kayla supaya jadi perempuan baik, seperti yang Zara harapkan. Putri mereka harus memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari dia dan Zara. Kelak jika Kayla sudah beranjak dewasa, dia tidak akan membiarkan Kayla tumbuh tanpa pengawasan. Putrinya harus benar-benar terjaga.
"Gan, makan dulu, Nak," kata Mamanya. Sargan menoleh, dia melirik jam rolex yang melingkar di tangannya. Sekarang sudah menunjukkan pukul 13.05. Dia sampai tidak mendengar adzan karena asyik melamun.
"Aku mau sholat dulu, Ma. Titip Kayla," ujar Sargan membuat Shara menatap sendu ke arah putranya. Dia tahu seberapa terpukulnya Sargan. Putranya itu begitu banyak berubah, jadi lebih pendiam, bahkan Shara perhatikan Sargan jadi lebih giat melaksanakan shalat.
"Jangan lewatin makan, ya. Ini Mama udah masakin makanan kesukaan kamu." Sargan mengangguk. Tentu, sejak tahu kalau kehilangan orang yang dia sayangi rasanya teramat menyesakkan. Dan hanya banyak penyesalan yang dia rasa, Sargan ingin lebih menghargai orang-orang di sekitarnya selagi mereka ada. Meski tidak dapat dipungkiri kalau dia merasa sedih. Dia tidak bisa berlaku seenaknya.
Di sisi lain, anak-anak Lion sudah menyusun rencana.
"Pan ceuk aing ge balon na jangan warna hideung Darfan David Siregar," omel Zayn. Darfan meringis, gini nih kalau sama Mr. Eucreug semuanya harus sesuai.
"Terus gimana?"
"Yah udahlah gak apa-apa. Anak kelas gitu bilang jangan ada yang berani bahas apapun. Pokoknya harus bisa hibur Sargan. Jangan ada yang julidin juga," cerocos Zayn.
Di saat Zayn sibuk mengatur masalah balon juga makanan, Ardan memanfaatkan kekuasaan papanya untuk meminta izin mengadakan acara buku tahunan kelasnya di taman rumah sakit. Sultan mah bebas.
Mereka sampai mencharter angkot untuk anak kelasnya. Sedangkan anak cowok yang bawa motor, Zayn mintai tolong untuk memegang bendera berlambang Lion layaknya orang mau konvoi. Bahkan ada banyak yang membawa kado untuk bayinya Sargan. Rumaysha dan Qia juga turut ikut. Mereka gabung bersama anak perempuan di kelas Zayn. Dan saat ini Rumaysha seperti sedang diajak oleh QnA oleh kakak kelasnya."Rumaysha, kok lo betah sih jadi adeknya si Abdurrahman?" tanya seorang cewek yang jadi korban ngegasnya Zayn.
"Nah, gue kalau jadi lo udah resign," sahut bendahara kelas. Ya memang sih Zayn tidak pernah nunggak bayar uang kas seperti Darfan dan Ardan. Tapi masalahnya kalau ditanya mau bayar bulan apa, Zayn selalu menjawab ketus. Katanya 'gak usah basa basi, lo cek aja buku bayarannya'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nedrian's Sibling [Book 3]
Teen FictionHidup sebagai remaja memang penuh masalah ternyata. Ujiannya tidak main-main, dimulai dari tawaran nikotin yang terasa menggoda hingga cinta dari sang pujaan kekasih yang melemahkan jiwa. Ya, Zayn membenarkan pernyataan itu. Dia pikir jadi dewasa i...