15. Tentang Razqia Wardany

4.7K 842 97
                                    

Dia banyak melalui kesulitan seorang diri ketika orang-orang berpikir kalau dia baik-baik saja.

Dia banyak melalui kesulitan seorang diri ketika orang-orang berpikir kalau dia baik-baik saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Razqia Wardany, sebuah nama yang disematkan almarhumah ibunya untuk Qia. Sampai saat ini, Qia masih belum tahu. Apa arti dari namanya. Tapi Ibu selalu bilang, tak peduli apa arti nama Qia. Kehadiran Qia begitu berarti untuk Ibunya. Terlahir sebagai anak sulung, dengan kedua adik yang masih kecil. Membuat Qia punya tanggung jawab untuk mengurus kedua adiknya, menggantikan posisi sang ibu. Dan ayahnya hanyalah seorang pegawai cleaning service di sebuah perusahaan swasta besar. Usianya pun tak lagi muda. Ini yang selalu Qia khawatirkan. Dia takut kalau ayahnya meninggalkan mereka.

"Bapak kalau sakit kenapa enggak ambil izin aja?" tanya Qia.

Sang ayah hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap kepala putrinya yang tertutup hijab.

"Kalau bapak gak kerja, sayang uang bonus hari ini gak bisa diambil buat ongkos sekolah kamu," ucap Bapak.

Apa ada yang lebih menyakitkan selain ini? Ketika merasa kalau kita ini tidak bisa meringankan beban orang tua. Merasa kalau selama ini hanya jadi beban untuk mereka.

"Maaf Qia selalu susahin Bapak sama Ibu," lirih Qia.

Wajah yang mulai berkerut itu lagi-lagi mengulas senyumnya.
"Memang sudah kewajiban kami sebagai orang tua. Jadi kamu gak perlu ngerasa bersalah. Tugas kamu  sekolah yang bener. Jangan buat perjuangan Bapak sia-sia, ya, Qi. Udah, bapak gak apa-apa. Nanti minum tolak angin juga baikan. Gih kamu urus adek-adekmu dulu aja. Bapak berangkat dulu, uang belanja bapak taro di bawah sarung kulkas," kata Bapak. Qia mencium punggung tangan sang ayah. Lalu melambaikan tangannya.

Qia mengusap air matanya. Pandangannya tertuju ke arah pas foto almarhumah ibunya. Bahkan sekalipun kepergian ibunya sudah hampir 3 tahun. Nyatanya duka kesedihannya tak pernah pudar. Bahkan rasa sakitnya tetap sama dan semakin bertambah karena didominasi rasa rindu. Dia rindu bercerita pada ibunya. Mengadukan segala hal pada ibunya. Membantu ibunya memasak atau semua hal yang dia lakukan bersama ibunya.

Ibu punya cita-cita ingin pergi ke tanah suci mekah. Setiap sebelum tidur, Qia kadang melihat ibunya menatap lukisan bergambar tanah suci mekah tanpa kedip disertai senyum penuh harap. Kalau boleh, dia ingin bisa mewujudkan keinginan almarhumah ibunya. Sayangnya sebelum Qia mewujudkan mimpi sang ibu. Ibunya sudah lebih dulu dipanggil ke rahmatullah.

"Teh Qi, kancing baju Ian copot."

Buru-buru Qia menghapus air matanya. Dia mengambil seragam batik yang ada di tangan sang adik. Mengambil kotak putih yang berisi jarum dan benang. Lalu mulai menjahitnya.

"Bekelnya dimakan, ya, Yan. Kalau mau jajan. Uangnya beliin aja. Buat jajan di rumah, Ian minta lagi aja ke Teteh," ujar Qia pada adiknya yang masih kelas 2 SD.

Dia punya 2 adik, yang satunya lagi kelas 1 SMP.

"Iya, Teteh. Hari ini bekel apa?"

"Sama telor dikecapin gak apa-apa 'kan?" Dia belum sempat belanja bahan masakan lagi.

Nedrian's Sibling [Book 3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang