"Jikalau kesedihan dan kesakitan hatian yang menjadi penentu alurnya. Aku rela."
Deandra Briana
***
Setelah bertemu dengan Abdil, perasaan Kara benar-benar bimbang. Antara ingin membongkar semua kedok Risna atau tidak.
Mengapa Kara bimbang? Sebab jika Kara mengatakan semuanya Risna bisa saja melukai hati Dea kembali. Itu yang membuat Kara dilema.
Kara menatap orang-orang yang tengah menatapnya penuh tanya. Kara berjalan pelan menghampiri Dea. Kara tahu, mereka tengah menunggu jawaban darinya, mengenai apa yang sudah Kara bicarakan dengan Abdil.
Kara duduk di samping Dea lalu mengelus kepala Dea lembut. "Apa kamu siap untuk semuanya?" tanya Kara pelan.
Dea menatap Kara heran lalu bertanya, "Maksud kamu?"
Kara mengembuskan napas gusar. "Jikalau sekarang adalah waktu yang tepat untuk Abdil tahu tentang kamu dan tante Risna." Kara melirik kedua orang tuanya dan kedua sahabatnya.
"Mungkin memang sudah saatnya, Abdil tahu," ucap Dea dengan derai air mata.
Semuanya menunduk saat melihat Dea menangis. Mereka tahu betapa sakitnya saat seorang ibu lebih memilih menyayangi anak tirinya dibandingkan anak kandungnya sendiri. Kejam.
Randy yang sudah merasa gatal dengan bibirnya langsung bertanya, "Apa iya kita harus datang?"
Semuanya melirik Randy lantas mengangguk lemah.
"Apa kondisi Dea memungkinkan untuk lepas infus sama oksigen?" tanya Randy kembali.
"Soal itu biar Ayah yang bicarakan dengan dokter Salman." Keno menatap sendu Dea yang hanya mampu menangis.
Memang sangat tidak menyangka jika Fernando akan sekejam itu, dengan merebut sosok Risna dari sisi Dea. Fernando yang dikenal dengan kebaikannya justru malah melakukan kesalahan yang membuat seorang gadis menderita.
***
Waktu memang begitu cepat berlalu. Setelah melewati banyak drama, akhirnya hari selasa telah tiba. Tepat siang ini Dea harus istirahat total sampai sore. Menjaga daya tahan tubuh untuk bisa datang ke acara ulang tahun Abdil.
Hari ini Keno dan Luna tak datang untuk menunggu Dea. Sedangkan Randy dan Redio tengah mencari gaun untuk Dea. Mereka sangat antusias saat Dea bilang bahwa dia tak mempunyai gaun istimewa untuk nanti.
Kara tengah berdiri di jendela sambil memandang padatnya kota bandung. Perasaannya pun tengah dilanda dilema. Entah apa yang harus Kara perbuat saat nanti di sana.
Dea hanya memandang punggung Kara dengan derai air mata. Kara tak menyadari bahwa Dea terbangun dari tidurnya.
Dea tengah bermain ayunan di taman dekat rumahnya bersama Arjas dan Risna. Begitu ceria saat Arjas mendorong ayunan itu sambil tertawa lepas.
Keluarga kecil yang selalu bahagia saat sore hari tiba.
"Papa. Setiap sore kita main ke sini, ya," ucap Dea antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️terbit] 1. The Girl That Hurt
Teen Fiction(𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐭𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐝𝐢 𝐒𝐡𝐨𝐩𝐞𝐞 𝐅𝐢𝐫𝐚𝐳 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚-𝐏𝐚𝐫𝐭 𝐦𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐥𝐞𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩) "Anak pembawa sial!" Tuttttt .... Iya. Aku adalah anak pembawa sial dalam keluarga. Namun, dulu aku adalah seorang gadis kecil ya...