Dea dan Abdil sampai di UKS. Abdil mulai mengambil peralatan untuk mengobati luka Dea.
"De, tolong jangan pernah siksa diri lo kayak gini," ucap Abdil sambil mengobati luka Dea.
"Gak pa-pa," jawab Dea.
"Gue yang udah anggep lo seperti ade gue sendiri, khawatir sama lo, Dea," jelas Abdil.
"Tapi semua orang bahagia lihat aku kayak gini. Termasuk mama dan papa!" lirih Dea.
Abdil terdiam sejenak.
"Apa yang sebenarnya terjadi sama keluarga lo, Dea?" tanya Abdil sambil mengelus bahu Dea.
"Intinya, mama benci sama aku karena-" Ucapan Dea menggantung, ia tak kuat menahan isak tangisnya. Dirinya kembali merasakan sakit yang amat dalam di hatinya.
Abdil yang melihat itu langsung memeluk erat Dea, menenangkan sahabat yang sudah ia anggap seperti adiknya.
"Jangan dilanjutin kalo gak kuat dan belum siap. Gue bakal nunggu lo sampe siap cerita sama gue!" ucap Abdil sambil mengusap punggung rapuh gadis itu, mengecup singkat pucuk kepala yang selalu tertunduk.
Dea hanya menganggukkan kepalanya di pelukkan Abdil, dan Dea semakin terisak.
"Lo bisa nangis sepuasnya. Gue bisa jadi sandaran lo. Lo harus percaya cepat atau lambat lo bakal ngerasain kebahagian lagi!" tutur Abdil.
Dea melepaskan pelukkannya lalu meneyaka air mata di pipinya.
"Tapi kapan?" tanya Dea sambil menunduk.
"Pasti di waktu yang tepat, tapi gak hari ini!" ucap Abdil sambil mengelus kepala Dea.
"Sekarang kita obatin luka lo," usul Abdil sambil mengambil tangan Dea, lalu mengobatinya dengan telaten, dan membungkus luka itu dengan perban.
"Selesai. Besok ganti lagi perbannya, atau kita ke rumah sakit!" tawar Abdil.
"Enggak usah. Nanti juga pasti bakalan cepet kering!" Dea menjawab sambil bergeleng kepala.
"Yaudah. Besok pagi ganti sebelum lo ke sekolah atau gue gantiin di sini," ucap Abdil.
"Aku aja!" jawab Dea.
"Mau ke kelas?" tanya Abdil, namun Dea menggeleng.
"Lo laper?" tanya Abdil sambil terkekeh.
Dea mengangguk polos dan Abdil langsung tertawa.
"Lo tunggu. Gue ke kantin beli makanan. Lo mau apa?" tanya Abdil.
"Mie aja," jawab Dea.
"Okeh!" jawab Abdil sambil berlalu pergi.
Tinggal'lah Dea seorang. Ia terduduk di atas brankar sambil mengayunkan kedua kakinya.
"Kapan kamu akan berjalan menuju fase kebahagiaan!" lirih Dea.
Ceklek
Pintu terbuka, membuat Dea mengangkat kepalanya.
"Ka-ra!" beo Dea terbata karena yang ia dapati bukanlah Abdil melainkan Kara.
"Makan!" ucap Kara singkat.
"Enggak usah. Abdil udah beliin aku makanan kok," jawab Dea.
"Hargain!" ucap Kara.
"Hargain? Berapa?" tanya Dea bingung.
Kara hanya mendengus kesal, lalu meletakkan kotak bekal yang ia pegang di samping Dea.
"Hargain orang yang udah bawain ini sama kamu!" jelas Kara tanpa ekspresi.
"Kamu?" ucap Dea bingung.
Sejak kapan seorang Kara berbicara aku-kamu dengan orang seperti Dea? Bukannya cowok sering memakai lo-gue?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️terbit] 1. The Girl That Hurt
Novela Juvenil(𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐭𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐝𝐢 𝐒𝐡𝐨𝐩𝐞𝐞 𝐅𝐢𝐫𝐚𝐳 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚-𝐏𝐚𝐫𝐭 𝐦𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐥𝐞𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩) "Anak pembawa sial!" Tuttttt .... Iya. Aku adalah anak pembawa sial dalam keluarga. Namun, dulu aku adalah seorang gadis kecil ya...