Extra Part-Cinta yang Belum Berakhir

2.6K 63 9
                                    

"Semuanya masih tentangmu."

~Kara Jaya Putra~

***

Luna tengah dilanda kesal sebab Kara sama sekali tidak menurut untuk segera meminum obat. Bahkan Abdil, Randy dan Redio ikut turun tangan memaksa Kara agar makan dan segera minum obat.

Mereka berempat mendengus kesal ketika Kara sama sekali tidak memberi respon. Bahkan ketiga sahabat Kara terus mengacak rambut frustasi.

"Bunda ngidam apa, sih, pas hamil sama Kara?" tanya Redio.

"Kolor Pak RT." Bukan Luna yang menjawab melainkan Kara.

Jawaban Kara sukses membuat empat orang di depannya menoleh kaget. Mereka sudah kehabisan cara untuk membujuk Kara agar bersikap normal dan dewasa.

"Bunda gak suka, ya, kalo kamu terus kayak gini. Bunda juga merasakan hal yang sama tapi Bunda berusaha untuk tegar dan ikhlas. Karena jika kita terus kayak gini gak akan membuat Dea kembali. Gak akan membuat Dea muncul di kehidupan kita lagi," cetus Luna yang sudah kesal dengan Kara.

Kara menunduk dan mendengus. "Tapi, Kara sayang sama Dea, Bunda. Kara gak mau kehilangan Dea," jawab Kara.

"Bunda tahu. Kita semua juga gak mau Dea pergi. Tapi, takdir Tuhan sudah seharusnya seperti ini. Tinggal kita yang belajar mengikhlaskan dan mendoakan, Dea," tegas Luna.

Kara menundukkan kepala. Air matanya kembali luruh. Kara benar-benar menjadi sad boy setelah kepergian Dea. Tidak memiliki gairah hidup bahkan sikap manjanya pada Luna dan Keno sudah hilang.

"Bunda sayang sama kamu. Bunda selalu mengingatkan kamu seperti ini agar kamu berpikir dewasa, dan belajar melepaskan apa yang sudah bukan milik kamu lagi," tutur Luna lembut.

Sekesal apapun Luna pada Kara dia sama sekali tidak bisa bersikap kasar. Bagaimana pun Kara sekarang, Luna tak bisa menegur Kara lebih jauh, sebab Luna tahu Kara sudah benar-benar mencintai Dea.

Ketiga sahabat Kara hanya terdiam. Sejujurnya mereka juga masih merasa kehilangan Dea.

Luna meletakkan mangkuk di nakas, lalu mengelus bahu Kara lembut sambil tersenyum. "Bunda cuma pengen kamu sembuh, sayang." Luna berdiri dan tersenyum pada Abdil, Randy dan Redio. "Titip Kara, ya! Bunda mau ke bawah dulu." Mereka bertiga mengangguk patuh dan Luna langsung melenggang pergi.

Setelah Luna pergi barulah Abdil membuka suara. "Udah dua minggu lo sakit, Kar. Semenjak kelulusan dan semenjak lo bilang lihat Dea terus lo sakit sampai sekarang," tutur Abdil yang mengambil mangkuk bubur.

Kara menoleh. "Gue yakin itu, Dea. Gue kenal postur tubuhnya," jelas Kara.

Tangan Abdil berhenti mengaduk bubur, dia membuang napas. "Terus kalo semisal itu beneran Dea, siapa yang dimakamkan di depan kita waktu itu?" Abdil menyuapi Kara namun Kara tetap diam.

"Kar. Lo, kan mau kuliah. Kita mau daftar barengan, terus kalo lo sakit kita bisa terlambat daftar," ujar Randy.

"Belajar ikhlas, Kar. Kalo lo sayang sama Dea lo harus ikhlas. Jika lo kayak gini terus yang ada Dea juga sedih di sana," terang Redio.

Kara menatap ketiga sahabatnya datar. "Tapi, gue yakin Dea masih ada." Kara turun dari ranjang lalu berjalan ke arah meja belajar dekat pintu balkon.

Abdil meletakkan mangkuk itu, lalu mengikuti Kara. "Cukup, Kar. Jangan keras kepala. Gue tahu rasanya kehilangan orang yang kita cintai. Tapi bukan berarti kita terus menutup diri dan berimajinasi bahwa dia gak mati."

[✔️terbit] 1. The Girl That HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang