28-Again

978 63 11
                                    

Menyerah untuk senang, berjuang untuk kesedihan. Buanaku memang terbalik, terasa semu dan tak berarti lagi.

***

Pagi disambut mentari, dan berjalan tak sendiri. Lihatlah Dea yang kini tengah berjalan beriringan bersama Kara di koridor SMA, mereka bahkan menjadi pusat perhatian para siswa.

Kara sama sekali tak melepaskan genggaman tangannya pada Dea. Kara juga tak peduli pada tatapan para siswa, ia justru berjalan dengan begitu cool-nya membuat Dea malah terpana.

Akibat terlalu terpana oleh Kara, Dea tidak menyadari bahwa sudah sampai di kelasnya. Mereka tengah berdiri di depan bangku Dea.

Kara menatap Dea heran karena sama sekali tak menyadari apapun dan terus menatapnya. Kara melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Dea.

Dea terperanjat kaget dan kikuk. Kara terkekeh geli melihat tingkah Dea yang terlihat malu karena terciduk menatapnya.

Kara menarik dagu Dea agar menatapnya kembali. "Kenapa? Aku terlalu ganteng, ya!" ujar Kara.

Dea terlihat gelagapan menanggapi ucapan Kara. "Enggak, Kara," jawabnya lirih.

Kara mengangguk-ngangguk. "Oh ya! Gak percaya, pasti kamu bohong." Kara menahan tawa ketika Dea langsung menepis tangannya dan langsung duduk.

"Kamu jangan GR, Kara," jawab Dea mengelak.

Kara menghiraukan ucapan Dea, dan malah duduk di samping Dea. "Gini, ya. Kalo kamu liatin aku tanpa sebabnya buat apa?" tanyanya jahil.

Mata Dea mendelik tajam pada Kara. "Emang gak boleh gitu? Kalo aku liatin kamu, aku tuh cuma heran aja sama kamu, kenapa jalan di koridor yang begitu ramenya sama sekali gak peduli sama orang-orang sekitarnya!" jawab Dea.

"Buat apa aku peduli sama orang yang gak peduli sama ... kamu," jawab Kara.

Tubuh Dea membeku tatkala mendengar ucapan Kara. Dea melirik Kara sekilas lalu menatap ke arah lain.

Kara perlahan meraih tangan Dea membuat Dea kembali menatapnya penuh tanya. "Kenapa?" tanya Dea heran.

Kara mengembuskan napasnya. "Lupain. Sekarang aku mau ngingetin sesuatu sama kamu!" Kara lalu mengambil tas punggungnya dan mengeluarkan beberapa kebutuhan Dea.

"Jangan lupa makan bekal tepat waktu, jangan lupa minum obat, jangan lupa jaga diri, jangan sampe kejedot, jangan sampe ada yang nampar, jangan sampe gebrak meja, jangan sampe gak ngabarin kalo digangguin, jangan sampe gak nurut sama aku, dan satu lagi ... jangan sampe lupa jaga hati!" ujar Kara panjang lebar membuat Dea hanya mampu mengedipkan matanya.

Dea kemudian beralih menatap kotak bekal, botol minum, obat-obatannya, dan juga handphone miliknya.

Dea menggaruk kepalanya heran. "Gak segitunya juga, Kara," jawabnya.

Kara menggeleng cepat bak anak kecil. "Gak bisa. Pokoknya kamu harus jaga kesehatan dan daya tahan tubuh, kamu udah janji mau sembuh, kan!" ucapnya.

Dea mengangguk pelan. "Iya! Aku janji," sahut Dea.

Janji pada ucap dan tidak pada hati. Sambungnya dalam batin.

Kara tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Dea. "Sesuai rencana, nanti siang kita ketemu dokter Salman. Jadi, kamu tunggu di sini, kalo aku belum datang jangan pergi!" ujarnya mengingatkan.

[✔️terbit] 1. The Girl That HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang