"Entah bayanganku atau kamu memang masih ada. Namun jika kamu masih ada siapa yang telah ditimbun tanah merah di bawah hujan kala itu?"
~Kara Jaya Putra~
***
Kesedihan masih menyelimuti Kara. Walau kepergian Dea sudah enam bulan lamanya tapi Kara tetap terpuruk dan bersedih. Bahkan Kara yang selalu tersenyum ketika bersama Dea, sudah menjadi Kara yang dulu. Kara kaku dan dingin seperti sebelum bertemu Dea.
Hari ini adalah hari kelulusan SMA Buana Bandung angkatan 13. Mungkin bagi siswa lain ini adalah hari kebahagiaan sekaligus kesedihan, sebab merasa senang karena mereka lulus tapi disatu sisi mereka harus sedih karena berpisah dengan sahabat.
Kara berbeda. Ketika ketiga sahabatnya menikmati hari ini, dan berusaha tegar karena tak ingin larut dalam kesedihan, namun Kara hanya diam dan duduk di depan kelas.
Kara hanya melihat teman-temannya menari seperti halnya kelulusan. Dia diam, mungkin jika Dea ada di sampingnya Kara akan melakukan hal yang sama. Tapi, kesedihan masih menyelimuti dirinya.
Kara masih belum ikhlas Dea pergi. Kara selalu menutup dirinya, dan tak pernah lagi bercerita pada siapapun tentangnya.
Ketika sahabatnya sudah memberitahu Kara untuk tidak larut dalam kesedihan ini, namun nihil Kara tetap Kara.
Kara sudah seperti batu berjalan. Hidup tapi selalu diam dan akan bergerak ketika ada air yang menerjang.
Tatapan Kara selalu kosong, buktinya dia tidak sadar ketika sahabatnya sudah berdiri ngos-ngosan karena kegiatan mereka.
"Sampai kapan lo mau kayak gini terus?" tanya Abdil.
"Nunggu kucing bertelur pun Dea gak akan hidup lagi, Kar. Dia udah tenang dan bahagia di sana," timpal Randy.
"Dan nunggu jawaban siapa yang lebih dulu ada, telur atau ayamnya? Dea tetap akan menjadi Alm," timbrung Redio.
Kara akhirnya sadar jika tiga makhluk hidup itu ada di depannya. Kara memejamkan mata lalu berdiri dan meninggalkan ketiga sahabatnya tanpa berkata apapun.
"Satu makhluk Tuhan yang benar-benar bikin kesal." Abdil langsung menyusul Kara diikuti Randy dan Redio.
Mereka mengekori Kara yang entah akan berjalan ke mana. Sampai akhirnya langkah Kara terhenti secara tiba-tiba membuat Abdil, Randy dan Redio menumbruk bahu cowok itu yang sama sekali tidak bergerak.
Terlihat mata Kara menyipit ke arah lorong gelap menuju taman belakang. Tempat yang dulu selalu Dea kunjungi setiap hari sekarang sudah berubah menjadi tempat yang angker setelah Dea meninggal, menurut siswa lain.
Kara tidak salah lihat di sana ada seorang gadis dengan rambut pendek dan mengenakan seragam putih abu. Jaraknya lumayan jauh dan gadis itu membelakangi Kara.
"Dea." Entah dari mana pikiran Kara langsung tertuju pada Dea.
Anehnya lagi gadis itu seakan memberi instruksi agar Kara mengikutinya. Ketiga sahabatnya pun merasa heran.
"Lo boleh belum ikhlas Dea pergi. Tapi gak usah berimajinasi bahwa Dea masih ada, Man," peringat Abdil.
Mereka bertiga tidak sadar dengan keberadaan gadis itu. Bahkan Kara tak menghiraukan ucapan Abdil, dia berjalan mengikuti langkah gadis aneh tadi.
Langkahnya langsung tertuju ke taman belakang yang benar-benar membuat bulu guduk terangkat.
"Lo ngapain, sih, ke sini, Kar?" tanya Randy mulai takut.
Kara tak menggubris ucapan mereka. Dia terus melangkah hingga akhirnya sampai di dekat pohon rindang tempat dulu Dea selalu duduk di sana.
"Ini, kan, tempat Dea dulu," lirih Abdil.
Gadis itu tiba-tiba hilang dari penglihatan Kara. Kepala Kara melirik kanan dan kiri, belakang dan depan, seluruh penjuru taman tapi dia tak mendapati sosok gadis tadi.
Akhirnya Kara menyerah dan menunduk lesu. "Barusan gue lihat gadis yang mirip Dea," tuturnya datar.
Ketiga sahabatnya melotot. "Lo gila?!" teriak ketiganya.
"Gue serius, gue gak gila," jawab Kara kesal.
Randy menggeleng. "Kita harus bawa Kara ke psikiater," ujar Randy yang diangguki Abdil dan Redio.
"Gue gak gila jadi gak usah dibawa kebegituan." Kara langsung menabrak tiga sahabatnya dan melenggang pergi.
"Lo emang gak gila tapi otak lo miring!" teriak Abdil yang langsung mengikuti Kara Randy dan Redio.
Setelah mereka pergi dan sempurna tak terlihat lagi, tanpa mereka sadari gadis itu berdiri di balik pohon mangga besar di ujung taman.
Tatapan gadis itu terlihat tajam, hidungnya mancung, kulitnya berwarna sawo matang, dan satu keindahan khas-Nya ialah tahi lalat di atas bibir kirinya.
Jika didepinisikan gadis itu adalah gadis sempurna. Bibir merah kehitamannya menyungging tersenyum bak iblis.
"Permainan akan segera dimulai."
***
Avv dan epilog aja, nih. Gak kerasa udah mau kelar. Wkwkwk🤭
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️terbit] 1. The Girl That Hurt
Teen Fiction(𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐭𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐝𝐢 𝐒𝐡𝐨𝐩𝐞𝐞 𝐅𝐢𝐫𝐚𝐳 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚-𝐏𝐚𝐫𝐭 𝐦𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐥𝐞𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩) "Anak pembawa sial!" Tuttttt .... Iya. Aku adalah anak pembawa sial dalam keluarga. Namun, dulu aku adalah seorang gadis kecil ya...